Aku pergi ke kantin dan beli sebotol air. Aku dekati kursi terdekat dan minum.
Niat sudah terbentuk sejak aku meninggalkan kelas. Aku mesti temui Karissa dan minta maaf. Tidak seharusnya aku berteriak seperti itu. Apapun konten yang dia bicarakan—yang memicu badai meledak dari dalam diriku—tidak membenarkan perbuatanku.
Hanya saja, ketika aku hendak beranjak, aku lihat Alya menarik-narik tangan Karissa memasuki kantin, mendekatiku. Kantin tidak terlalu ramai, tapi tetap saja perbuatan mereka menarik perhatian. Meski sepintas-sepintas, beberapa pasang mata memerhatikan
“Nov, sebentar!” kata Alya tegas. “Kumohon. Kita luruskan ini secepatnya!”
“Tidak ada yang perlu diluruskan,” kataku sambil menatap mereka berdua. “Aku yang salah. Aku melampiaskan emosiku ke Karissa. Maaf, Riss. Aku tidak bermaksud berteriak seperti itu, hanya meledak begitu saja. Maaf.”
“Ta-tapi kamu benar, Nov. Yang terpikir olehku malah kesan. Malah pikiran orang lain. Bukannya bersyukur sekarang aku jadi kandidat tunggal Ketua OSIS. Dan itu berkat kamu,” kata Karissa sambil terisak. Sebagian air matanya tertampung bagian bawah kacamatanya dan tumpah ke samping seperti air terjun mini. “Maaf, Nov. Maafkan aku.”
Karissa membungkuk tulus.
“Aku maafkan, asalkan kamu juga memaafkan aku. Bagaimanapun tidak ada pembenaran aku berteriak seperti itu sama kamu. Tidak ada alasan. Kesambet setan, kali,” tanggapku. Kucoba diakhiri dengan canda, tapi sepertinya tidak pada tempatnya.
“Kamu tidak minta maaf sama aku?” tanya Alya sambil mendekatkan wajahnya kepadaku. Cemberut dan berkacak pinggang.
“Ya, ya. Aku minta maaf.”
“Aku maafkan, kalau kamu cerita apa yang jadi beban batin kamu. Jelas sekali kamu punya excess baggage yang berat!” kata Alya sambil menarik kursi dan duduk di dekatku. Karissa pun ikut duduk di samping Alya.
Entah kenapa aku mendadak merasa kosong. Seolah ada semacam mekanisme yang memutuskan untuk tidak terhubung dengan emosiku sebagai bentuk pertahanan. Aku paksakan untuk tersenyum.
“Maaf, aku belum siap membicarakannya. Ya, harus akui ada dan mungkin sekarang terlihat oleh kalian. Tapi aku belum siap. Kalau saatnya tiba, aku mohon, tolong dengarkan.” Aku membungkuk hormat, dengan harapan mereka tidak menekanku lebih jauh.
“Ya, itu lebih baik,” kata Alya. “Aku akan tanya setiap hari apa kamu sudah siap!”
“Aku juga,” tanggap Karissa.
Aku angkat wajahku dan melihat mereka berdua tersenyum.
“Hari ini kalian kompak banget!” ujarku sambil beranjak dan berjalan, berniat kembali ke kelas.
“Hey, tunggu!” seru Alya.
Meski tidak aku lihat, mereka ikut beranjak dan mengekor aku. Ketika kami hampir sampai di tangga menuju kelas kami, aku dengar Alya bergumam.
“Ummi?”
Aku melirik ke belakang dan melihat Alya berhenti dan menatap ke sisi kanan. Tidak hanya Alya, Karissa pun ikut melirik ke arah yang sama dan Karissa juga bergumam menyusul gumaman Alya.