"Itu memar?" tanya Alya saat membukakan pintu kamar sewaku. Dia menatap pipiku sementara aku mengintip melewati bahunya. Ada aroma masakan dari dalam sana.
"Seingatku, aku tidak punya beras," kataku, mencoba menghindari pertanyaan Alya.
"Aku tadi beli, sekalian pesan air galon dan belanja bahan lainnya," jawab Alya. Dia alihkan tangannya bersedekap di depan dadanya sebelum berkata tegas, "Dan aku sempat lihat kamu bersama Bu Sari dan seorang polisi. Mau kasih tau soal apa?"
"Kenapa aku merasa seperti diinterogasi?" tanggapku sambil melangkah masuk.
Alya tidak menghalangi, dia melangkah ke samping, membiarkan aku melewatinya.
"Hanya penasaran. Liat kamu sama Bu Sari aku merasa seperti dilangkahi," kata Alya sambil menutup pintu.
"Dilangkahi? Kalau kamu merasa seperti itu, kenapa nggak hampiri kami? Lalu tanyakan sendiri ke Bu Sari," ujarku, menghentikan langkah dan menghadapi Alya.
"Pertengkaran suami istrinya stop dulu, napa? Udah lapar nih!" seru Anggi dari balik punggungku.
Aku melirik dan melihat Anggi duduk lesehan menghadap hidangan yang sebenarnya cukup sederhana, namun saat itu aku menganggapnya sangat istimewa. Kulihat tiga piring nasi, rendang telur campur terung ungu dalam mangkuk besar dan potongan timun sebagai lalapan di piring lain.
"Jangan menyela kalo Ayah sama Ibu lagi bicara!" bentak Alya sambil melewatiku dan duduk dekat Anggi. "Mari sini, Yang, kita makan dulu."
Sebelumnya aku sudah terperangah, sekarang coba bayangkan kala Alya memanggilku "Yang"! Tentu saja aku tahu dia sedang akting, tapi efeknya tetap membuat benakku traveling.
"Idih! Main sinetron!" dengkus Anggi.
Secepatnya aku paksa perhatianku tetap sadar dan mengabaikan apapun yang bisa membuatku terlena. Lalu, aku ikut duduk di lantai, menghadap mereka berdua. Dari cara mereka berinteraksi sepertinya mereka sudah cukup akrab.
"Mau ambil sendiri atau aku ambilkan?" tawar Alya. Mungkin dalam benaknya masih ingin memainkan peran seorang istri seperti tadi, tapi mulai sadar dan sungkan, atau bahkan takut kalau aku marah.
Menanggapi tawarannya aku langsung ambil piringku dan menambahkan rendang telur. Tak lupa aku bubuhi potongan mentimun.
"Jadi? Tadi Bu Sari mau apa?" tanya Alya, kali ini terdengar ringan, tidak memaksa seperti sebelumnya.
"Kamu lihat polisi yang bersamanya, 'kan? Itu suami Bu Sari. Mereka mau menemui Kang Arip. Katanya ada transaksi narkoba di sekitar sini dan ada indikasi pembelinya siswa di sekolah kita."
"Kamu tahu siapa? siswa itu?" tanya Alya lagi.
"Nggak. Dan aku nggak peduli. Kang Arip lebih menekankan pada menangani pengedarnya daripada siswa yang mengonsumsinya. Aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi. Sebaiknya kamu juga."
Alya mengangguk, entah sekedar paham atau juga setuju untuk tidak terlibat. Selesai melihatnya mengangguk, aku alihkan perhatian pada piringku.
"Bismillah," gumamku sambil mengambil satu suapan dan ... ya, memang enak, tapi lebih dari itu, membawa sensasi masakan rumah yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku hampir menangis dibuatnya. Hampir, ya! Artinya aku tidak jadi menangis!
"Enak," komentar Anggi.
"Iya? Alhamdulillah. Gimana, Nov?"
Aku hanya mengangkat jempol.