Kafe ini terasa lebih dingin dari jalanan akibat Air Conditioner, yang mungkin disengaja supaya pelanggan kerap mesan kopi panas. Aku sendiri memesan kopi hitam yang masih mengepul saat datang dan masih mengepul saat aku seruput. Sementara Alya memesan secangkir vanilla latte. Dia yang traktir, katanya, dan itu justru membuat benakku memasang benteng antisipasi atas apa yang hendak dia bicarakan.
Suasana kafe terasa sepi. Ada beberapa pelanggan, tapi aku tidak hitung. Mataku tertuju penuh pada Alya, sementara yang aku tatap malah memain-mainkan cangkir kopinya.
“Jadi? Apa yang mau kamu bicarakan soal orang tuaku? Mereka sudah meninggal, kamu tahu itu, `kan?” ucapku datar.
“Ya, aku tahu. Anggi juga cerita kalau ayahnya yang mengelola asset orang tua kamu. Umm, apa kamu punya perangkat buat klaim warisan orang tua kamu kelak? Ya, maksudku ada hitam di atas putih yang bisa kamu pegang untuk mewarisi asset itu.”
Aku menggeleng. “Seingatku tidak. Tapi aku percaya sama pamanku.”
“Bukannya aku hendak meragukan kepercayaan antara kamu sama paman kamu, ya. Maaf, mungkin ini bukan urusanku. Bentuk kepedulian aku sama kamu, mungkin? Atau kalau mau egois mungkin aku suka sama tempat kos kamu. Kalau bisa aku bakal kos di sana, dan jangan sampai pengelolanya bukan lagi kamu. Jadi, mungkin kamu mesti pastikan kalau gedung kosan kamu itu bisa kamu klaim nantinya,” jelas Alya.
Aku mangut-mangut. Tapi, aku bisa merasakan ada kegelisahan di balik penjelasan Alya itu. Ada semacam inkonsistensi.
“Terima kasih atas kekhawatiran kamu. Dan kalau soal rencana kamu kos, kita sekolah SMA tinggal setahun lagi—lebih sih, tapi tetap terlalu singkat kalau buat kos, apalagi rumahmu cuma satu jam jalan kaki,” tanggapku.
Kulihat Alya menghela napas. “Umm, mungkin aku salah pendekatan soal ini, ya? Maksudku adalah, kamu sebaiknya punya inisiatif untuk menjaga warisan orang tua kamu. Ya, aku tahu kamu percaya sama paman kamu, tapi jebakan setan itu tidak bisa kamu sepelekan. Hati manusia bisa berubah. Hanya manusia yang … yang bisa dusta dan khianat. Maaf.”
Aku termenung sesaat, sebelum bergumam, “Hanya manusia … yang bisa dusta, khianat dan membunuh manusia.”
Alya tertegun. Ia menatapku, penuh dengan perasaan tidak percaya atas ucapanku, tapi tidak bisa juga menolaknya.
“Itu semacam kutipan. Aku lupa pernah baca di mana,” ucapku.
“Nah, setidaknya kamu mengerti. Kalau kamu peduli sama keluarga Anggi, kamu juga mesti proaktif buat menjaga kondisi hati mereka. Ya, salah satunya menjaga paman kamu dari memakan hak kamu sebagai anak yatim.”
“Terima kasih, Al. Aku hormati itu,” ucapku sambil memasang senyum, meski hatiku terasa gamam.
Alya tersenyum. Dia kemudian bersandar dan menatapku sambil memiringkan wajahnya.
“Apa?” tanyaku. Agak risih diperhatikan seperti itu.
“Gak pa-pa. Cuma … baru sadar kalau … baru kali ini aku deket sama cowok, kamu tau itu?”
Aku tertegun dan seketika dadaku serasa kembang-kempis oleh perasaan sumeringah. Tapi, cukup sadar untuk merespon dingin, “Sama. Aku juga.”
“Loh? Bagaimana dengan Karissa? Kamu deket sama dia, kan?” Ia ambil cangkir latte-nya dan menyeruputnya
“Disuruh bantu bawa buku. Hapus papan tulis. Panggil guru. Setting infocus. Yah, cuma sebatas kacung aku rasa,” jawabku.