My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #31

A Beast in Me

Aku tidak tahu apa yang Niko lakukan sepeninggalku. Aku tidak peduli.

Lepas dari lorong, aku beralih arah ke kiri, menjauhi Ruang Guru. Langkah kupercepat, sampai di ujung gedung baru sekolah aku beralih arah dan mulai berlari. Aku dekati boks sampah dan menendangnya dengan telapak kaki. Telak dan bergetar!

 Gemuruh dalam dadaku seolah mendapatkan celah keluar dan menyeruak kuat hingga memancingku untuk berteiak!

Tapi, tidak! Aku masih punya nalar untuk tidak membiarkan gemuruh liar itu membuat luka baru!

Mau apa dengan berteriak?! Apa yang bisa kamu capai dengan berteriak?! Memancing orang datang mendekat?! Memancing mereka mengasihanimu?! SUDAH! TIDAK ADA YANG PEDULI DENGANMU!

Alhasil, aku gemetar. Menahan gejolak dalam dada, tapi aku sadar aku tidak akan bisa bertahan lama. Aku butuh pelampiasan! Aku butuh pelampiasan secepatnya!

 Aku lepas tasku dan melemparnya ke samping. Aku buka kemeja seragamku, aku buka juga kaus t-shirt bagian dalam hingga aku bertelanjang dada. Aku robek kaus itu dan melilitkannya ke kepalan tanganku, lalu aku dekati boks sampah itu dan meninjunya berkali-kali.

 Kamu pernah dengar peribahasa, Tong kosong, nyaring bunyinya? Oh, aku tidak bertanya soal arti peribahasa itu. Hanya hendak menunjukkan oposisi biner dari kenyataan peribahasa itu; tong yang berisi tidak ada bunyinya. Yang ada hanya, “Bug! Bug! Bug!”

 Ya, bisa dikatakan aku kalap. Aku marah besar. Dan aku jelas salah melampiaskan amarahku pada boks sampah tak bersalah. Tapi aku pikir boks sampah itu punya daya tahan yang lebih besar daripada kepalan tanganku. Aku bukan Thanos. Juga bukan Herkules.

Aku berhenti setelah aku rasakan keringat bercucuran. Napasku terpenggal-penggal tapi puas. Ya, aku puas. Gemuruh itu mereda, tapi aku tahu, badai itu akan datang lagi; dingin dan keras. Aku harus mengatasi sumbernya ….

Meski tidak tahu caranya, aku tahu gemuruh besar dalam dadaku itu berasal dari pengetahuan atas bunuh dirinya ibuku. Semacam kenangan yang ditekan dalam-dalam; kenangan yang diusahakan tidak pernah mengemuka …. Tapi kini aku sadar, binatang dalam diriku itu bisa lepas, liar dan putus asa.

 “Ada apa dengan kamu?”

 Sontak aku membalikkan badan dan melihat Bu Sari sudah berdiri di belakangku. Tidak hanya Bu Sari, Alya berdiri di belakangnya, merunduk. Wajahnya memerah.

 Secepatnya aku pakai kemeja seragamku.

 “Hanya olahraga, Bu,” kataku sambil mengancingi kemejaku.

 Bu Sari berpaling ke Alya. Alya pun berpaling ke Bu Sari. Entah kenapa, mereka tidak memercayaiku. Tapi, ah persetan lah! Aku tidak peduli!

 “Apa kamu mau Ibu bilang ke Pak Wahyu supaya nambah porsi olahraga kamu?” komentar Bu Sari datar.

 “Pak Wahyu cuma atletik. Nggak ada tinju,” jawabku datar meski aku niatkan setengah berkelakar.

 Bu Sari terkekeh. “Berbenah di toilet sana! Masukkan kemejamu ke celana!”

 “Siap!” ucapku sambil merunduk mengambil tasku.

Lihat selengkapnya