Di loteng sekolah telah ada Alya dan Karissa. Barang-barang di loteng itu masih berantakan, tapi sudah lumayan bersih dari debu dan kotoran-kotoran kecil. Juga telah bebas dari sarang laba-laba. Kulihat di bawah jendela bundar itu telah dipasang meja yang masih berfungsi dari bangku-bangku lama yang ada di loteng. Dan telah diberi taplak. Di atasnya terdapat empat botol air dan kotak berisi roti kemasan. Sudah mulai terasa nyaman, meski kesan gudang masih kental.
“Kalau kalian lapar, tuh roti isi,” tawar Alya kepada aku dan Andika. “Karissa yang traktir.”
Saat itu Alya dan Karissa sedang menyusun beberapa barang kecil yang bisa masuk dalam satu kotak kardus—mengefektifkan tempat penyimpanan.
Aku melirik Andika dan berkata, “Aku makan kalau kamu makan.”
Seolah mendapat sinyal dariku, Andika menghampiri meja dan mengambil satu bungkus roti. Begitupula aku. Karena tidak ada kursi, aku jongkok di lantai sambil bersandar ke dinding, persis di samping meja. Aku robek bungkus roti itu dan melahapnya. Andika juga meniru tingkahku, meski duduk di seberangku..
“Enak ya, jadi laki-laki,” komentar Karissa, “Bisa makan kayak gitu.”
“Hus, jangan berandai-andai! Mereka bisa seperti itu karena kebiadaban mereka, gak bisa elegan seperti kita,” sanggah Alya sambil menggerak-gerakan tangan kanannya seperti penari balet.
Karissa terkekeh.
Memang aku cenderung mengabaikan mereka berdua, tapi tentu saja ada tingkah dan perkataan mereka yang merembes masuk peripheral perhatianku. Dan … apapun yang merembes itu sepertinya menggelitiki binatang liar dalam diriku. Sisa-sisa iblis itu masih bersemayam, tapi sepertinya tidak se-intens tadi pagi. Masih aman dan terkendali, aku rasa. Hanya saja sampai kapan, aku tidak tahu.
Setelah rotiku habis. Aku minum dari botolku sendiri yang aku beli waktu istirahat.
“Jadi sepertinya terbayar, ya? Ibumu tidak lagi kecewa kamu nggak jadi Ketua OSIS?” Aku dengar Karissa bertanya kepada Alya. Sepertinya melanjutkan obrolan yang sempat terpotong oleh kedatangan kami.
“Yup, tapi Ummi bukan orang yang mudah puas. Ada saja ekor yang menyakiti—” jawab Alya yang mendadak terpotong oleh teriakan Andika.
“Astagfirullah! Apa-apaan, Nov?!”
Aku menoleh, tapi mendadak aku tersadar. Tanganku yang memegang botol minum, telah meremas kuat botol itu hingga menyembur dan tumpah.
Andika telah melompat berdiri, menghindar dari cipratan air, meski kacamatanya sempat kena.
“Maaf, maaf. Biar aku bersihkan!” seruku sambil berdiri. Aku langsung pergi ke kelas, menuju lemari perlengkapan kelas untuk ambil alat pel lantai.