My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #33

Sisa Jejak Iblis

Seperti biasa di hari Jumat, kelas berakhir jam 11.00. Bagi yang Muslim, kami manfaatkan aula sekolah untuk salat Jumat, sementara yang Muslimah ada semacam kegiatan keputrian yang diprakarsai oleh FDI dan Bidang Kesiswaan. Untuk salat Jumat pun disiapkan oleh FDI, jadi ketika aku selesai wudhu dan memasuki aula, karpet hijau telah tergelar dengan sebuah mimbar di ujung aula

Seperti biasa, aku duduk di barisan ke dua, persis di depan mimbar. Setelah salat sunah dua rakaat yang aku ulang sebanyak tiga kali, sudut mataku menangkap sosok Paman berdiri di sampingku dan melaksanakan salat sunah juga.

Sebelum selesai salat, benakku sempat memformulasi niat untuk mengorek informasi tentang apa yang dibicarakan Pak Rahman dan Bu Sari. Tapi, aku juga tidak boleh terkesan tertarik, apalagi memaksa. Ah, mungkin itu sebenarnya hanya bisikan setan yang berusaha membuat salat sunahku tidak khusyu. Toh ternyata, selesai salat, niat mengorek informasi itu terasa tidak signifikan.

Aku langsung duduk bersila setelah selesai salat. Dan ketika aku lihat Paman selesai salat, beliau juga duduk bersila di sampingku yang dilanjutkan dengan menepuk lututku.

"Maafkan Paman soal Anggi kemarin. Katanya kamu sedang antar teman kamu, waktu Paman jemput. Dia nggak repotkan kamu, 'kan?" tanya Paman.

"Tidak. Dia tidak merepotkan," jawabku. "Hanya kaget. Tidak biasanya; tiba-tiba datang."

"Ya, dia ngambek soal password wi-fi," sambung pamanku sambil terkekeh. "Makin besar, makin gak ngerti pikiran anak itu."

"Eksplorasi jati diri, Paman. Masih normal untuk seusianya," tanggapku.

“Paman dengar kamu ikut ekskul, ya? Kok kamu gak cerita?” tanya Paman, mengalihkan topik.

“Ekskulnya belum resmi, Paman,” jawabku. Batinku sempat mencelos dan berharap beliau tidak tahu kalau dasar aku masuk MFR sebenarnya karena hukuman.

“Tapi sudah berperan, ya?” kata Paman. “Tadi Pak Rahman sempat cerita. Tidak detil, sih, dari caranya bercerita, dia suka sama kerja kamu dan klub kamu.”

“Yang lebih berjasa sebenarnya Alya, dari kelas sebelah, yang mengawali klub ini,” komentarku.

Paman sejenak terdiam. Sepertinya hendak mengalihkan topik pembicaaran. “Nov, menurut kamu kalau Paman sekolahkan Anggi di sini bagaimana?”

Aku terdiam sesaat. Sempat terpikir untuk bilang kalau Anggi sempat bahas semalam meski sedikit, tapi aku urung. Aku coba pendekatan yang berbeda.

 “Kalau Paman minta pendapat saya, saya pribadi menyarankan jangan. Akan ada kesan membanding-bandingkan antara Anggi dan saya. Itu tidak sehat buat Anggi. Lagipula bagaimana dengan bakat dan minat Anggi? Paman sempat ngobrol sama Anggi?”

"Entahlah, Nov. Dia main game melulu,” desah Paman.

“Kalau begitu, sebaiknya bicara dulu sama Anggi. Sambil ikut main game, mungkin? Paman bisa kenali dulu dunianya, baru Paman bisa kasih arahan. Menurut saya sih masuk SMK kayaknya lebih baik. Komputer Jaringan atau semacamnya. Mungkin juga Multimedia. Tapi itu hanya yang saya baca dari permukaan. Tidak tahu minat Anggi yang sesungguhnya,” tanggapku.

Paman melirikku, matanya tampak berkilat senang. “Benar, kata Pak Rahman. Kamu pandai memberi nasihat.”

Ya, tapi bodoh menasihati diri sendiri! pikirku sambil merunduk--bukan tersipu, tapi lebih ke menahan dengkus sinis.

“Setelah ini, kamu langsung pulang?” tanya Paman.

Lihat selengkapnya