Kamu tahu? Vladimir Nabokov pernah berkata, “Hidup itu kejutan yang agung, aku tidak bisa melihat kenapa kematian bukan malah kejutan yang lebih agung lagi.”
Entah dengan kematiannya, tapi soal hidup, aku setuju kalau hidup penuh dengan kejutan yang tidak pernah kita sangka. Aku juga tidak pernah menyangka bisa menceritakan masa laluku. Tidak pernah terpikir olehku akan mengungkit-ungkit masa suram itu, tapi … di sinilah aku, bersama ketidakberdayaan dalam diam saat aku dan Alya membersihkan peralatan pel di tempat wudhu mushola.
Selesai membersihkan peralatan pel itu, aku kembalikan ke lemari perlengkapan kelasku.
Ketika kami kembali ke loteng sekolah, Karissa sudah tidak ada. Hanya ada Andika.
“Mana Karissa?” tanya Alya.
“Pulang duluan, katanya ibunya sudah jemput,” jawab Andika yang sedang menurunkan kotak-kotak karton dai rak sebelah kanan.
Aku termenung. Entah kenapa aku merasa Karissa pulang duluan karena sebab lain, dan aku merasa menjadi bagian dari sebab itu.
“Sepertinya aku mesti bicara sama dia,” gumamku dan terus terang sebenarnya aku tujukan kalimat itu pada diriku sendiri, tidak berniat mengeraskannya.
“Biar aku saja,” kata Alya. “Sama-sama cewek. Aku akan menyusulnya.”
Dengan tangkas Alya memutar langkah dan berlari menuruni tangga. Aku sempat terpana dengan ketangkasan dia. Tapi segera aku kuasi diri dan berniat membantu Andika membereskan rak sebelah kanan. Jika ini beres hari ini, tinggal besok merencanakan menutupnya supaya terlihat seperti dinding.
Ketika aku hampiri Andika, dia menatapku canggung dan berkata, “Nov, soal ….”
Ia agak ragu melanjutkan perkataanya. Kemudian ia membuang muka, “Ah, bukan soal apa-apa.”
Aku mengerenyit heran dan mulai merasakan penyesalan kalau aku sudah membuka perasaanku. Membuka masa laluku. Jelas sikap canggungnya dimulai setelah aku paparkan masa laluku, ya, `kan?
Terus terang, agak sakit hati juga. Tapi, mungkin inilah saat seharusnya aku tidak peduli. Ketika kita telah jujur mempresentasikan diri kita yang sebenarnya dan orang lain malah bersikap yang tidak kita harapkan, maka kita sebaiknya mengabaikannya. Bukan hak kita menuntut sikap orang terhadap diri kita yang telah apa adanya, karenanya tidak layak kita merasa sakit hati. Biarkan saja mereka.
Atas dasar itu, aku pun menanggapinya dengan mengangkat bahu. Terserah.
Jika benar sikap canggung Andika dan pulangnya Karissa adalah karena paparan masa laluku, berarti satu-satunya yang merespon menurutku positif hanya Alya. Oh, ya, Allah … mungkin aku makin jatuh cinta sama dia ….
Setelah rak itu kosong, kami geser dan memutarnya. Lalu, memberi jarak antara dinding kanan dan rak itu. Setelah posisinya simetris, kami kembalikan barang-barang lama loteng itu ke rak. Tapi, baru satu putaran kami mengembalikan barang-barang itu, aku mendapat pesan dari Alya.
[Alya]
“Aku lg sama Karissa. Kyknya bkl lama. Klo mau, pulang aja duluan.”
Aku mengerenyit heran. Dari banyak kata yang disingkat tanpa huruf vokal menandakan Alya terburu-buru menulis pesannya.
“Kenapa gak kirim di grup?” komentarku setelah baca pesan itu.
“Apa?” tanya Andika.
Aku perlihatkan layar ponselku ke Andika.
“Sepertinya Kak Karissa suka kamu, Nov,” kata Andika.
“Ya. Dia udah nembak aku.”
“Eh, apa?” Andika terperanjat. “Terus? Kamu tolak?”
“Dia nggak kasih kesempatan untuk menjawab. Dia nggak mau agendanya terganggu sama pacaran. Dia mau fokus sama OSIS,” jawabku ringan sambil menyimpan ponselku ke saku.
“Kalau dia kasih kesempatan, kamu mau terima?” tanya Andika lagi.