Rumah itu masih tampak sama. Hanya pagar saja yang berubah. Halamannya masih terawat, tapi terawat seperlunya—tidak maksimal. Berbentuk huruf Ldengan tempat parkir mobil di sisi sebelah kiri, kalau orientasi kamu sedang menghadap rumah itu. Rumah itu tampak suram, tapi mungkin hanya persepsiku saja. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan soal detil rumah ini. Agak menyakitkan juga ternyata.
Ketika kami tiba dengan motor matikku, Andika menyambut dengan membukakan pintu pagar.
“Motor matik?” tanya Andika, mengerenyit heran.
“Ya, ya, nggak cocok sama profilku! Nggak usah diperhatikan!” ujarku sambil memarkirkan motor itu di samping sebuah mobil yang tertutupi kain terpal. Sempat aku dengar cekikik Alya yang telah turun dan membuka helmnya.
Andika arahkan langkah kami ke ruang tamu yang sangat aku kenal. Meski perabotannya berbeda, posisinya persis yang penah ayah-ibuku susun. Debarku menguat, lebih-lebih ketika aku temui sosok ayahnya Andika. Aku ingin segera tahu teori beliau.
Beliau sosok tambun berkepala plontos dan berkacamata tipis. Lesung pipit di kedua pipinya memberi tahu aku kalau dia suka tersenyum. Beliau sepertinya jarang berada di luar rumah karena kulitnya yang agak memucat.
Ketika kami bertemu di ruang tamu, beliau tersenyum lebar dan menjabat tangan kami hangat.
“Pak Dane,” sapaku dengan akhir nama beliau berbunyi “eu”; Daneu.
“Ini Nova, ya? Dan ini Alya?” kata beliau. Suaranya sedikit berat, tipikal perokok dan peminum kopi. “Silahkan duduk. Terus terang, saya senang melihat Andika punya teman. Lebih-lebih kakak kelasnya. Lega juga rasanya, dia seperti remaja normal.”
Beliau arahkan kami untuk duduk di sofa panjang, sementara beliau di sofa tunggal. Aku duduk diapit oleh Alya dan Andika. Andika duduk lebih dekat dengan ayahnya.
“Sulit, Pak Dane,” ujar Alya, “Andika akan sulit untuk normal jika bersama kami. Kami bukan remaja normal.”
Pak Dane tertawa. “Bisa saja kamu, Al.”
“Tapi mungkin Alya ada benarnya, Pak. Maaf. Tapi … apa Andika sempat cerita kalau saya … pernah tinggal di sini sebelum Bapak dan Andika?” kataku, berusaha mengarahkan pembicaraan pada tujuanku sebenarnya.
Pak Dane tertegun dan kemudian menatap Andika. Andika merunduk.
“Kamu Nova yang itu?” kata Pak Dane mendadak gugup dan segera berpaling ke Andika. “Kenapa kamu gak cerita, Dik?”
Andika terdiam.
“Andika juga sempat cerita kalau Bapak … punya teori kalau ibu saya tidak bunuh diri.”
“Cukup! Cukup, Nov! Andika jelas telah bersikap kurang ajar! Maafkan putra saya. Ini agak berbahaya juga jika diteruskan. Maksud saya, pengaruhnya terhadap kejiwaan kamu.”
“Tidak apa-apa, Pak. Andika tidak salah. Ini inisiatif saya. Saya bisa mengerti kekhawatiran Bapak, karena seolah memberi saya harapan kalau ibu saya tidak bunuh diri .Saya bisa melihat perangkap berbahaya dari teori seperti itu,” jelasku.
“Hanya saja, saat ini, saya sedang melalui proses menerima kondisi, bunuh diri atau bukan, ibu saya tetap meninggal, dan saya masih hidup, masih punya masa depan. Karenanya, saya mesti menghadapai hantu masa lalu saya, agar masa depan saya tidak terbebani."
Pak Dane tampak menyimak perkataanku dengan seksama.
“Tetap saja, saya akui,” sambungku, “perangkap itu masih ada. Saya bisa saja jatuh ke dalam kondisi mental yang labil seperti dendam atau depresi. Tapi, sekarang saya tidak sendirian. Saya punya Alya, punya Andika, untuk mengingatkan saya. Saya terima mereka sebagai teman yang bisa saya percaya. Saya juga punya guru-guru yang baik di sekolah, dan sekarang saya punya Bapak, ayah dari teman saya yang sepertinya paham soal ini. Bagaimanapun Pak Dane seorang novelis, permainan watak adalah makanan Bapak sehari-hari, ya, `kan?”
Pak Dane tersenyum. “Kamu tidak seperti remaja biasa, Nov,” kata beliau.
“Seperti saya bilang,” timpal Alya, “Andika tidak akan normal jika bersama kami.”
Pak Dane pun tertawa. “Ya, tapi tidak normal dalam artian baik,” tanggap beliau yang kemudian beralih kepadaku, “Kamu yakin, Nov? Teori hanya sekedar teori, tanpa dukungan bukti, tapi tetap mempengaruhi pikiran kita.”
“Saya mengerti, Pak. Apapun teorinya, hanya insight baru supaya bisa melihat masa lalu saya lebih utuh dan bisa dijadikan pijakan kuat untuk melompat ke masa depan.”
Pak Dane tersenyum lagi, tapi kali ini sorot matanya tampak teduh menatapku. “Baiklah. Tapi sekarang malah bingung bagaimana memulainya.”
“Saya lihat Bapak tidak memugar rumah ini. Mungkin ada alasannya? Biasanya orang yang pindah rumah, yang pertama kali mereka perbuat adalah memugarnya, menghilangkan jejak penghuni lama.”