“Ma-maksudku, ibu kamu … bukan mati bunuh diri?” ucap Andika, mencoba mengoreksi perkataanku, tapi beralih niat. Takut dan gugup.
Ya. Aku tahu maksud Andika. Ada yang membunuh ibuku dan membuatnya seolah bunuh diri. Tentunya pertanyaan selanjutnya pasti terarah pada, “Siapa pembunuhnya?” Dan jika aku coba mencari jawabannya dan jika berhasil aku jawab, tetap saja ibuku mati, `kan? Apa dengan mengetahui pembunuhnya, aku bisa menuntut balas? Membuatnya bertanggungjawab? Mencekiknya sampai mati? Tidak ada damai di ujung jalur ini. Bergaul dengan preman insaf seperti Kang Arip membuatku bisa mengerti ini.
“Ini hanya teori,” ucapku. Terdengar datar dan … lega. Air mataku telah berhenti. Jujur, aku merasa lega sekarang. Karena aku tahu aku benar, aku tahu Ibu tidak meninggalkan aku. Aku tahu Ibu menyayangiku. Aku tidak peduli lagi dengan perkataan orang lain. Abaikan pendapat orang akan Ibu! Toh, Kebenaran hanya milik Allah!
“Kamu baik-baik saja, Nov?” tanya Pak Dane. Terdengar berhati-hati dengan ucapannya.
“Ya, saya baik-baik saja,” jawabku jujur. “Saya merasa lega, sekarang. Terima kasih, Pak. Tapi, apa Bapak tidak ada niat memugarnya? Merenovasi kamar ini? Bisa rusak kalau lama-lama dibiarkan, Pak?”
Aku ambil langkah keluar kamar itu.
Pak Dane tersenyum cerah, seolah beliau bisa melihat perubahan sikapku. Seolah beliau ikut merasakan perasaan legaku.
“Tentu niat itu ada! Mungkin setelah aku berhasil menulis cerita detektif. Bosen cerita silat melulu,” jawab Pak Dane, setengah bercanda.
“Mau kapan, Yah? Tiap Om Indra telepon, Ayah langsung ketar-ketir!” kata Andika sambil kemudian berpaling kepada aku dan Alya. “Om Indra itu editornya Ayah.”
“Kalau Ayah gak ketar-ketir, kamu gak bisa makan!” seru Pak Dane sambil mengacak-acak kepala putranya.
Aku tersenyum melihat mereka. Tanpa sengaja aku melirik Alya, dia sedang memerhatikanku. Dia memasang senyum saat tahu aku melihatnya.
“Bicara makan, apa kalian lapar?” kata Pak Dane tiba-tiba. “Kita makan di luar, yuk? Aku yang traktir.”
“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya saya mesti cepat pulang,” ucapku, menolak tawarannya.
Andika tampak sedikit kecewa.
“Aku ikut kalau Nova ikut,” kata Alya tiba-tiba, membuatku terperangah seketika.
Ya, aku terkejut, dan ketika aku lihat dia, Alya malah cengengesan.
“Dah, ikut aja!” seru Pak Dane sambil menepuk pundakku. “Bentar. Aku siap-siap dulu. Dik, kamu juga ganti baju!”
“Kalian tunggu di ruang tamu, ya,” kata Andika, kali ini tampak semangat. Lalu ia pergi. Mungkin ke kamarnya.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Alya pelan. Terkesan lembut.
“Tidak ada,” jawabku. “Aku baik-baik saja.”
Alya tersenyum lebar. “Ya, aku bisa melihatnya. Seolah … bebanmu sudah terangkat. Aku senang melihatnya.”
Aku menanggapinya dengan senyuman.
“Tidak ada sakit hati, Nov? Atau dendam?” tanya Alya. “Aku bertanya sebagai … yah, mungkin dari seseorang yang hatinya kotor—Dah, jangan berdebat! Aku punya alasan sendiri …, untuk menganggap hatiku kotor.”
Aku melirik Alya. Keningku mengerenyit. Nada suaranya melemah di akhir kalimatnya, dan ia berpaling seolah menyembunyikan sorot matanya.
“Aku pernah cerita kalau `A Asep dan Kang Arip itu adik-kakak, `kan?” tanyaku sambil memulai langkah menuju ruang tamu. Membuka percakapan lain.
“Nggak—eh, lupa lagi. Kayaknya pernah, ya?”
“Kamu tahu `A Asep buta, `kan? Kamu tahu gara-gara kenapa?”
Alya menggelengkan kepala.