Tentu aku menikmati kebersamaan dengan Andika dan ayahnya, sore itu. Dan sepertinya Alya juga menikmatinya. Pak Dane mengajak kami ke sebuah restoran yang … yakinlah tidak akan aku kunjungi lagi jika pakai uang sendiri.
Lepas Magrib, Pak Dane mengantar kami pulang. Alya yang terlebih dahulu karena jaraknya yang lebih dekat, kemudian aku. Tidak ada lagi yang mesti aku lakukan di Jumat malam itu, selain memasukan cucian seragam ke laundry, salat Isya, lalu tidur. Dan aku tidur sangat lelap malam itu. Sempat berbalas pesan dengan Alya, tapi hanya membahas detil pekerjaan esok di markas MFR.
Dini hari aku bangun dan hanya mengulang rutinitas sebelumnya. Bedanya, saat sempat salat Tahajud, doaku atas Ayah dan Ibu terasa khidmat. Lalu aku bersiap sekolah, meski tidak berseragam. Hoodie hitam beresleting yang membungkus t-shirt abu-abu gelap dan celana kargo warna coklat. Sengaja aku pakai sandal agar terkesan santai. Tasku pun isinya hanya botol air.
Hari Sabtu, sekolah tidak seramai biasanya, karena tidak semua murid ikut ekskul—seperti aku sebelum dihukum masuk MFR (hahaha, lucu. My Fair Rebelle itu ideku, ‘kan?). Setelah sarapan di dekat boks sampah, aku tuju markas MFR. Hanya saja, aku tidak bisa menyeberangi lapangan basket karena sedang dipakai anak-anak basket yang sedang pemanasan. Sampai di depan tangga berbentuk tapal kuda itu aku berhenti dan memutuskan untuk menonton anak-anak basket, mengingat mau ke markas pun kuncinya ada di Alya.
Saat aku bersandar ke salah satu batang pohon kerai payung, sambil menonton mereka yang sedang latihan passing, seseorang menyapaku dari belakang.
“Nov, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” jawabku sambil menoleh. Kulihat Karissa mendekat. “Riss?”
Dia tersenyum sungkan, berjalan mendekat dan kemudian berdiri di sampingku, ikut menonton latihan basket. Penampilannya tampak kasual dengan overall jins yang terbungkus sweater abu-abu, kerudungnya biru langit senada dengan overall jins-nya.
“Maafkan aku soal kemarin, ya?” ucap Karissa lirih.
“Maaf soal apa? Seingatku kamu tidak salah?” ucapku.
“Aku yakin kamu juga menyadari kalau aku bersikap aneh, kemarin.”
“Aku lebih aneh lagi. Mencekik botol air sampai muncrat.”
Karissa mengernyit heran, namun tersenyum lebar. Ada perasaan senang di sorot matanya, dan tercurah pada ucapannya, “Hari ini kamu sepertinya agak berbeda?”
“Berbeda gimana?” tanyaku heran.
“Seperti …, seperti lebih terbuka. Seperti … selama ini ada dinding yang mengelilingi kamu dan …, dan sekarang telah runtuh,” jelasnya agak ragu.
“Seperti topeng yang terlepas,” tambahku.
Karissa kembali menatapku sedemikian rupa, merasa senang dengan perubahanku. “Ya, seperti itu,” ucapnya sambil tersenyum. Lalu dia tertawa pelan sebelum berkata, “Kamu sosok yang luar biasa, Nov. Jujur, aku semakin suka sama kamu—tidak usah merespon, ya? Hal itu masih tetap! Lagi pula …, lagipula, mengingat kemarin …, mendengar cerita kamu kemarin, aku seperti … gagal sebagai perempuan. Gagal untuk mengerti kamu secara utuh.” Perkataanya luruh menjadi gumam perlahan yang ragu-ragu.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapinya. Tapi, kalau keluar dari hati, aku menolak assessment Karissa soal dirinya.
“Aku tidak menganggap itu sebuah kegagalan,” kataku, “Hanya skala prioritas kamu yang sepertinya berkompetisi dalam benak kamu. Setelah kamu dengar cerita masa lalu aku, prioritas kamu sebagai seseorang yang mestinya peduli seketika mengambil alih prioritas yang lain seperti mempersiapkan diri menjadi Ketua OSIS, misalnya. Itu bukan kegagalan, karenanya kamu tidak perlu minta maaf.”
“Tapi berbeda dengan Alya. Dia sepertinya langsung mengerti kamu. Aku bisa lihat, kamu selalu tampak tenang di dekatnya,” komentar Karissa. Dia merunduk, menatap lantai beton lapangan basket.
“Karena dia telah mempersiapkan dirinya untuk peka. Sepertinya sudah lama dia mempersiapkan klub ini. Dia berusaha berprestasi di kelas sepuluh supaya punya daya tawar terhadap ibunya agar di kelas sebelas sekarang dia bisa bebas membangun klub ini. Aku curiga, dia punya masa lalu yang … traumatis juga.”
“Alya sempat cerita, ibunya overprotective terhadap dirinya,” kata Karissa.
Aku mengerenyitkan kening. Aku merasa kurang setuju dengan Karissa. Jika hal itu dengan mudah Alya ceritakan, maka itu bukanlah sumber trauma yang sebenarnya. Tapi, aku juga tidak tahu pasti. Yang bisa aku lakukan hanya menunggu sampai Alya bersedia membuka dirinya.
Lalu, aku lihat Alya di seberang lapangan basket. Melambaikan tangan kepada kami. Aku dan Karissa membalas lambaiannya. Alya sepertinya tidak banyak berubah di saat libur sekolah; sweater hijau, kerudung hitam dan hanya rok saja yang berubah warna menjadi hitam.
“Kamu mau ikut ke loteng sekolah?” tanyaku.
“Aku ada rapat dengan tim suksesku soal ambil alih kepengurusan OSIS,” jawab Karissa. “Tapi aku akan mampir.”