Di ruang keluarga, Paman menyuruh Anggi untuk mengajakku main game—sekedar menunggu Magrib dan waktu makan malam tiba. Aku menolaknya dan hanya ingin menontonnya saja. Game itu mempresentasikan kekerasan tanpa berdarah-darah. Aku pikir, meski tanpa darah, kekerasan tetap kekerasan, tidak mengurangi nilai dari kekerasannya, hanya mengurangi kadar kenyataan dalam game itu.
“Hebat!” celetuk aku saat melihat adik sepupuku itu mencetak headshot menggunakan pistol. Karakter game yang Anggi gunakan adalah seorang perempuan yang kebesaran—maaf—pantatnya. Jujur aku tidak mengerti, mengapa dalam game seperti ini, sosok perempuan malah nyaris tanpa perlindungan yang benar? Sementara karakter laki-laki bercelana kargo dengan body armor yang tebal dan berat? Salah satu misteri hidup, mungkin.
Mendengar celetukan aku, Anggi sempat menoleh dan tersipu. Mungkin jarang sekali yang memujinya, sehingga celetukan aku terdengar menarik baginya.
Aku pernah cerita usianya 15 tahun, `kan? Rambutnya dipotong pendek sampai terlihat sebagian tengkuknya. Dia tidak pendek, atau kurusnya yang membuat ia terkesan tinggi. Saat ini dia memakai jeans selutut dengan kaus lengan panjang warna hitam dengan tulisan “Black Winter” di punggungnya. Entah nama game atau nama tim online-nya, aku tidak tahu. Dia lumayan cantik, tapi lebih terkesan kekanak-kanakan.
Aku teruskan menontonnya hingga terdengar azan Magrib.
“Salat Magrib dulu, ah!” celetukku pelan sambil berdiri. Tidak aku sangka, Anggi mematikan konsolnya dan ikut berdiri. Dia mengikutiku ke mushola dan ikut salat bersamaku. Ketika selesai, kami sempat berpapasan dengan Paman yang hendak memasuki mushola dan beliau sempat berkomentar ke Anggi.
“Tumben kamu langsung salat.”
Anggi diam saja. Tidak menjawab dan tetap konstan mengikuti langkahku.
Aku beralih, melambatkan langkahku dan berjalan di sampingnya.
“Jangan diambil hati. Orang tua emang begitu. Gak ada puasnya. Lambat diomelin, cepet dikatain tumben. Bikin serba salah,” bisikku.
Anggi mendengus cepat dan balas berbisik, “Dih, bener banget!”
Di dapur, aku lihat Bibi Mel sedang menyiapkan meja makan. Kulihat mangkuk besar dengan saus steak dan mangkuk lain dengan potongan daging, dua nampan kentang goreng juga salad sayur. Aku hampiri dan membantu Bibi menyiapkan meja. Ternyata Anggi mengikutiku, ikut membantu.
“Kamu sebaiknya sering ke sini, Nov,” komentar Bibi Mel. “Anggi mendadak jadi anak baik sore ini.”
“Justru karena jarang, Bi. Kalau sering, jampi-jampiku bisa luntur,” tanggapku yang seketika mendapat dengus tawa Anggi.
“Hahaha, mbah dukun!”
“Hus!” hardik Bibi Mel sama putrinya.
“Di game kamu itu gak ada senjata santet, ya?” komentarku yang segera mendapat tawa Anggi dan juga Bibi Mel.
“Ada-ada saja kamu, Nov!” komentar Bibi Mel.