Di ruang keluarga, Anggi telah menyalakan konsolnya. Sebuah game First Person Shooting dengan layar terbagi dua. Dia set permainan dengan bentuk kerja sama, melawan musuh Non-player. Tentu, aku yang jarang main game tampak bego dan konyol.
“Emang game apa yang suka kamu mainin?” tanya Anggi setelah melepas tembakan headshot, pada musuh terakhir yang mengancam karakterku.
“Soliter, sama Sudoku,” jawabku yang seketika membuat Anggi tertawa.
“Emangnya kamu aki-aki!” seru Anggi di akhir tawanya.
Aku mengangkat bahu. “Game hanya seperangkat masalah yang mesti diselesaikan; hidup udah menawarkan banyak masalah buatku.”
Kulihat Anggi mendadak termenung. “Menurutmu main game kayak gini salah?” tanyanya pelan, terdengar sungkan, seolah takut kalau dia salah menilai aku.
“Tentu saja tidak!” jawabku. “Pada taraf tertentu, game menawarkan simulasi buat menghadapi hidup!”
Tampak jelas sekali kilat binar di sorot mata Anggi. Dia tersenyum menanggapi jawabanku.
“Bedanya dengan hidup,” imbuhku, “Game punya kadar yang terkendali, sementara hidup, lebih sporadik, random dan nggak ada savepoint.”
Anggi mendengkus kencang, “Ya, tanpa load game dan aturannya juga berubah-ubah tanpa notifikasi.”
Aku terkekeh sebelum menanggapinya.
“Tapi untuk memenangkannya kita bisa belajar dari player-player sebelumnya. Kamu tadi bilang aku kayak aki-aki, `kan? Mungkin karena aku terlalu banyak gaul sama aki-aki, dan bukannya tanpa alasan. Mereka player-player sebelumnya, malah dengan tingkat kesulitan yang hardcore menurutku.”
“Mantan preman itu? Kamu belajar dari pengalaman mereka?” tanya Anggi lirih, ada kesan sungkan, namun bercampur kagum dan hormat. Dia tampak kemudian termenung. Apa yang aku katakan sepertinya meresap ke dalam benaknya.
“Ya, kira-kira seperti itu,” ucapku sambil mengangkat bahu.
Anggi tersenyum.
“Sekarang OOT sebentar,” ucapku tiba-tiba, untuk mengubah topik pembicaraan. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Kulihat sepupuku itu menatapku heran. “Soal apa?”
“Umm, bagaimana pendapatmu soal Alya?”
Kembali matanya berbinar, namun kali ini berbeda dan sambil mengulum senyum. “Kamu beneran naksir dia, ya?”
“Tentu! Kenapa tidak?”
“Tembak aja gih sana! Dia kayaknya juga suka sama kamu!”
Aku termenung sesaat, “Nggak sesederhana itu. Dia punya sedikit masalah yang berpotensi menolakku. Aku mesti bantu membenahi masalahnya dulu.”
“Masalah apa?”
“Aku curiga masalah keluarga. Dia nggak ngungkit-ngungkit masalah keluarganya waktu di kamarku kemarin, `kan?”
Anggi menggeleng. “Aku cuma dengar dia video call sama ibunya. Gak banyak yang bisa aku ambil informasinya sih. Cuma hubungan mereka kayak kaku banget.”
“Tanya soal aku? Maksudku, kalian sempet ngobrol, `kan? Setelah dia video call ibunya?"
“Ya, dia tanya soal kamu.”
“Kamu cerita apa aja? Apa soal kematian orang tuaku sempat dibahas?”
“Gak detil, sih. Yang pasti aku gak bilang ibumu …, ya …, ya, gitu deh.” Mendadak Anggi gelagapan. Jelas sungkan menyebut ibuku bunuh diri.
“Gak apa-apa. Aku sudah menerima bagaimana kematian ibuku. Kamu sempat cerita hubunganku sama kalian—maksudku, Paman, Bibi, juga kamu.”
Anggi terdiam. Tampak enggan seolah menyimpan informasi yang sepertinya aku jangan tahu, tapi sekaligus tidak mau menutup-nutupinya dariku.
“Gak apa-apa, Gi. Gak usah jawab kalau nggak mau. Aku cuma perlu tahu buat menjawab Alya, kalau-kalau dia tanya.”