My Fair Rebelle

DMRamdhan
Chapter #41

Ancaman Kematian

Mobil Paman jenis sedan. Mewah dan aku yakin dilengkapi sistem pengaman yang mumpuni. Aku periksa sabuk pengamanku sekali lagi, lalu mengoperaskan ponselku. Tidak ada yang aku lakukan dengan ponsel itu sebenarnya, hanya membaca chat lama dengan Alya. Dan sesekali melihat sinyal agar posisi ponsel ini tetap terpantau.

 “Terus terang, Nov. Paman senang lihat kamu dekat dengan Anggi. Dia seperti yang anti sosial gitu,” kata Paman, membuka percakapan.

 “Saya kurang setuju, Paman. Anggi tidak anti sosial. Anggi berkomunikasi lewat gamenya. Mungkin Paman bisa sesekali bermain dengannya, dan sebisa mungkin memuji kemampuannya.”

 “Seperti tadi yang kamu lakukan dengan Anggi, ya?”

 Aku hanya mengangkat bahu.

Paman melanjutkan, "Gak nyangka, sebenarnya, kalian bisa akrab seperti itu. Ya, Paman senang.”

 Aku terdiam. Tidak menanggapi. Paman pun terdiam; tidak melanjutkan.

 Aku lihat Paman alihkan jalur mobil ke arah jalan tol. Aku bisa mengerti. Jalan lain di malam Minggu pastilah macet. Memang agak memutar dan menjauh, tapi jalan tol menjanjikan waktu tempuh yang lebih cepat.

 Setelah lewati gerbang tol, Paman kembali membuka pembicaraan.

 “Nov, terus terang, Paman ingin kamu ambil hakmu nanti sebagai pemegang saham ayah kamu. Malah Paman harap, kelak kamu yang mengendalikan perusahaan itu. Bagaimanapun itu pusaka ayah kamu! Jangan kamu tolak! Paman juga memang berencana melimpahkan sertifikat gedung kosan itu jadi nama kamu. Kamu tidak usah khawatir.”

 “Saya punya pusaka yang lebih baik dari Ayah, Paman. Diri saya sendiri. Saya sebagai putranya. Itu sudah cukup,” ucapku ringan, tanpa beban, tanpa … rasa bersalah.

 Ya, rasa bersalah. Aku melihat dinamika di balik tawaran Paman adalah rasa bersalah.

 Kulihat Paman tertegun, sempat menatapku tapi segera kembali memerhatikan jalan.

 “Paman mau dengar cerita?” kataku tiba-tiba. “Sejarah Rasulullah sih. Waktu Perang Uhud, paman Rasulullah, Hamzah, mati dibunuh oleh seorang budak bernama Wahsyi. Setelah penaklukan kota Mekah, Wahsyi ini masuk Islam dan menjadi orang yang cukup berjasa dalam perjuangan Islam. Saya sempat penasaran, kalau kelak di Surga, Hamzah berjumpa dengan Wahsyi, apa Hamzah akan menuntut balas?”

 Paman terdiam. Aku sendiri tidak berani meliriknya. Aku melirik ke jendela samping kiri, sepintas dari spion samping di luar jendela aku lihat wajah Paman yang tertegun—hanya sekilas, tapi sekilas itu cukup.

 “Tapi, di Surga tidak ada lagi dendam, sakit hati atau semacamnya. Bahkan menurut saya, mereka malah akan saling berterima kasih; Hamzah berterima kasih kepada Wahsyi karena memberinya mati syahid, Wahsyi pun berterima kasih karena telah memberinya rasa bersalah yang mendorongnya berjuang untuk menebus kesalahannya hingga akhirnya bisa masuk Surga.”

 Aku tarik napas dalam-dalam. “Kalau saya diberi kesempatan seperti itu, untuk memaafkan, akan saya lakukan. Asal bisa menjamin Ibu dan Ayah bisa masuk Surga. Asal Allah bersedia menyayangi mereka sebagaimana—oh, tidak, bahkan lebih! Saya harap Allah menyayangi mereka lebih dari sayang mereka terhadap saya ….”

Lihat selengkapnya