Sehari penuh aku tidak sadarkan diri sejak dari kecelakaan itu. Setelah sadar, tidak perlu waktu lama buatku untuk bisa duduk dan bisa makan normal. Kemudian aku diijinkan untuk menerima tamu.
Yang pertama kali datang adalah Kang Arip dan `A Asep. Mereka tampak cemas seperti layaknya orang tua kepada anaknya. Lalu, Andika dan ayahnya menyusul (dan Kang Arip adalah orang yang paling bahagia saat itu; bertemu dengan pengarang favoritnya). Kemudian di keesokan harinya, Alya dan Karissa datang. Bu Sari dan Pak Prasetyo juga.
“Kamu yang pertama kali menyadari kecelakaan itu?” tanyaku kepada Alya.
“Tentu saja. Kamu yang nyuruh aku memantau posisi kamu, `kan? Jadi gimana?”
“Gimana apanya? Aku bersyukur kamu cepat tanggap. Terima kasih.”
Alya mengibaskan tangannya, seolah meralat pertanyaannya. Ya, aku mengerti maksudnya; dia bertanya soal aku dan pamanku.
“Waktu aku lihat posisi kamu tetap sama di jalan tol setelah setengah jam, aku langsung hubungi Andika dan ayahnya. Hanya itu andil aku.”
“Aku tidak mengerti apa yang terjadi,” kata Karissa, “Tapi aku bersyukur kamu baik-baik saja, Nov.”
“Ya. Alhamdulillah.”
Lalu aku lihat Bu Sari mendekat. "Boleh Ibu bicara sebentar sama Nova?"
Alya dan Karissa saling melempar tatapan sebelum menuruti permintaan Bu Sari.
"Gimana, Nov? Perasaanmu?" tanya Bu Sari.
"Pernah lebih baik, Bu," jawabku. Aku rasakan keningku terasa berat, manifestasi cemas karena aku yakin Bu Sari hendak membicarakan sesuatu yang penting. Sesuatu yang membutuhkan antisipasi namun aku ... tak bertenaga.
"Alya sudah cerita, semuanya," kata Bu Sari yang seketika membuatku menatapnya dan memancingku segera angkat bicara.
Bu Sari sepertinya telah membaca bagaimana reaksiku, karenannya dia angkat telunjuknya sambil berkata, "Shshsh! Jangan bicara dulu. Kami ...," Bu Sari sesaat melirik suaminya, "secara garis besar cukup tahu gambaran apa yang sudah terjadi. Ibu hanya mau bilang itu. Kamu renungkan baik-baik, keputusan kedepannya. Ibu percaya sama kamu."
Aku termenung ....
Ibu percaya sama kamu ....
Aku pejamkan mata dan terasa air mata merembes keluar.
"Nanti kita bicara lagi. Kami pergi dulu. Lekas pulih, ya," sambung Bu Sari sambil menepuk pundakku. Lalu mereka pergi.
Alya dan Karissa kembali. Namun, melihatku yang terlalu banyak merenung dibandingkan merespon mereka, akhirnya mereka pamit pergi, mendoakan aku lekas sembuh.