Aku di rumah sakit tidak terlalu lama. Hari Kamis aku sudah bisa kembali ke sekolah. Tubuhku masih utuh. Hanya sedikit nyeri di bahu ketika melakukan push-up. Kuharap akan hilang seiring waktu.
Setelah sarapan di dekat boks sampah, aku langsung pergi ke kelas. Tapi saat di depan pintu kelas, mendadak rasa penasaran menggelitiki niat untuk mengalihkan langkah ke tangga di samping kelas. Menaikinya, menuju loteng sekolah.
Aku lihat pintu loteng sekolah tengah terbuka. Aku menghampirinya.
Di pintu, aku melihat Alya sedang duduk di kursi, menghadap meja yang disusun saling berhadapan, persis di bawah jendela. Alya sedang berpaling melihat keluar jendela. Hari ini dia mengenakan kerudung hitam dan sweater hijau membalut kemeja seragamnya. Di hadapannya terdapat mug yang tengah mengepul. Sepertinya kopi.
“Assalamualaikum,” sapaku.
“Waalaikumsalam.” Dia sempat terperanjat namun segera tersenyum. Senyum yang hangat. “Nov? Bagaiamana? Kamu baik-baik saja?”
“Jauh lebih baik,” jawabku sambil memindai ruangan yang menjadi Markas My Fair Rebelle. Kulihat ada satu meja lagi di dekat pintu, berikut kursinya. Lemari arsip di dinding kanan dengan vas bunga berisikan bunga berwarna ungu—entah bunga apa. Juga sebuah meja kecil dengan termos, dua buah mug dan dua toples kecil berisi kopi dan gula. Di sebelah kiri ruangan masih kosong, tapi ada karpet tergelar dan di dinding terdapat kaligrafi Tionghoa dengan tulisan bahasa Inggris di bawahnya.
“Know yourself and know your enemy, then you shall never fear the result of hundred battles—Sun Tzu.”
“Ini benar-benar nyaman!”seruku. “Maaf, aku tidak bisa ikut membantu.”
“Gak apa-apa."
Sejenak kami terdiam.
"Nov, kamu keberatan kalau kamu ceritakan detil kemarin sampai kamu bisa kecelakaan itu? Cuma penasaran, sih. Mungkin, bisa jadi bahan referensi buatku.”