"Jingga... Putuskan pertunanganmu dengan Sultan. Kamu sudah tahu kan kalau Sultan cinta mati dengan Aylia..." Entah mimpi apa aku semalam hingga pagi-pagi begini calon ibu mertuaku memintaku membatalkan pertunangan yang sudah berjalan puluhan tahun. Dan siapa tadi katanya? Aylia? Bukankah dia pembantu di rumah mereka? Sebangga itukah tante Nirina saat anaknya mencintai pembantunya sendiri? Dibandingkan dengan aku yang adalah seorang anak konglomerat? Sejajar dengan posisi mereka?
"Saya tidak mau tante." Jawabku tegas. Memang sifatku seperti ini. Aku tidak mudah mengalah pada orang lain. Sekalipun itu orang tua. Kalian mau tahu kenapa? Karena dirumah aku tidak bebas melakukan apapun yang kuinginkan. Aku terbelenggu! Makanya saat berada diluar, aku seperti ayam yang lepas dari kandangnya.
"Kamu!! Kenapa tidak mau? Memangnya kamu tidak malu tunanganmu terang-terangan selingkuh di depanmu? Mana harga dirimu? Apa kamu mau selamanya dipandang sebelah mata oleh Sultan?" Tante Nirina berbicara dengan mata membulat sempurna. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan menolak permintaannya.
"Malu? Saya? Nggak kebalik tante? Kan yang selingkuh Sultan jadi harusnya yang malu Sultan kan? Saya kan tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa harus malu?" Kataku dengan wajah bingung. Entah bagaimana cara berpikir Ibu dari tunanganku ini.
"Kamu jadi perempuan kenapa tidak peka? Ya jelas harus malu! Kalau sampai pasanganmu selingkuh, berarti ada yang tidak beres dengan dirimu. Sampai dia mencari orang lain." Kata Tante Nirina setengah mencibir. Aku tahu, dari dulu beliau sama sekali tidak suka denganku. Dia menerima pertunangan ini hanya karena tidak bisa membantah kata-kata om Hartono, suaminya. Entah apa alasan dia membenciku. Sampai sekarangpun aku tidak tahu.
"Maaf ya tante, saya tidak merasa ada yang tidak beres dengan diri saya. Saya termasuk gadis yang membanggakan. Prestasi saya bejibun. Atitude saya sempurna. Tante tidak akan bisa menemukan perempuan seperti saya lagi." Jawabku sengaja menyombongkan diri. Biar saja. Enak banget mencap diriku tidak beres padahal Sultannya saja yang mata keranjang. Tidak bisa menjaga dirinya padahal sudah terikat denganku.
"Jingga! Kenapa kamu selalu berkata tidak sopan dengan mamaku?!" Kata Sultan yang tiba-tiba datang. Di sampingnya tampak Aylia yang berdiri canggung.
"Selalu? Kapan? Baru juga kali ini aku membantah. Itupun karena tante Nirina yang mengatakan hal tidak masuk akal terlebih dahulu." Sultan tampak tidak suka dengan jawabanku. Hahh... Melelahkan. Kenapa semuanya jadi kacau seperti ini hanya karena kehadiran seorang pembantu. Aku dan Sultan memang bukan pasangan yang saling mencintai. Tapi hubungan kami selama ini baik-baik saja. Kami partner yang kompak. Kami sudah seperti kakak dan adik yang saling melengkapi.
"Jangan cemburu dengan Aylia. Hubungan kita kan hanya formalitas saja. Sudah benar kalau mama mengusulkan pembatalan pertunangan. Daripada nanti kamu tambah terluka. Aku benar-benar mencintai Aylia. Jadi kuminta, kamu jangan mempersulit hubungan kami." Kata Sultan dengan percaya diri tinggi. Ingin sekali aku menyemburkan tawa, namun harus kutahan sekuat tenaga. Bisa-bisa mereka mengatakan aku tidak sopan lagi.
Aku menyilangkan tangan di depan dada. Memandang mereka bertiga secara bergantian dengan tatapan tajam. Orang-orang yang beberapa bulan ini berubah menjadi sangat memuakkan sikapnya. "Kalau mau pertunangan ini batal, kalian saja yang mengajukan. Kenapa harus aku? Kesalahan kan ada pada kalian!" Kataku dengan nada mengintimidasi. Dan benar saja, seketika mereka menjadi terdiam. Bukan.. Bukan karena auraku yang menakutkan. Tapi karena mereka takut dengan murka om Hartono.
Aku tersenyum sinis menatap mereka. Sok-sokan menyuruhku padahal mereka sendiri takut dengan om hartono. Karena semua orang tahu, bagaimana sayangnya ayah Sultan itu padaku. Melebihi sayangnya pada anaknya sendiri. Dan kalau sampai Om Hartono tahu tentang perselingkuhan Sultan, sudah pasti habislah riwayat mereka.
"Kenapa diam? Takut? Ingat ya Sultan, kedudukan kita sejajar. Bukan aku yang menginginkan perjodohan ini. Tapi orang tua kita. Jadi berhentilah bersikap memuakkan dan hormati keberadaanku." Aku berkata seelegan mungkin. Tidak menampakkan kemarahan yang membuncah dalam dada. Lalu melenggang pergi meninggalkan mereka bertiga yang masih setia dengan kebisuannya.