Senin, 20 Januari 2020
Pada minggu keempat di bulan Januari, seluruh warga Jakarta mulai disibukkan dengan sejumlah pekerjaan di beragam bidang. Hal serupa juga dialami oleh Velove yang kini sedang berada di ruangannya yang menjadi bagian dari gedung kantor Garryson Company. Ia berkutat dengan laporan pembukuan yang sebelumnya sudah disimpan pada komputer kerjanya.
Dengan kemampuan dan konsentrasi yang tak terpatahkan, wanita berparas rupawan itu mengerjakan laporan dengan teliti. Bahkan, kedua manik mata bulatnya tak lepas menatap deretan tabel yang menampilkan deretan angka dan nol yang nominalnya di atas puluhan ribu. Menggarap laporan pembukuan mengenai penjualan property sudah menjadi tugas utama Velove di kantor.
Setelah merampungkan laporan pembukuan, ia beralih pada proposal penawaran bahan bangunan yang menurutnya perlu diubah pada beberapa kata dan bagian. Di saat dirinya sedang fokus membenarkan setiap detail proposal, Benita selaku rekan kerja satu ruangan menghampiri.
Selagi kedua kakinya melangkah, wanita yang dua tahun lebih tua dari Velove itu tersenyum manis. Sepertinya ia ingin bertukar kata dengan rekan satu ruangannya.
"Serius banget deh, Ve. Santai dong," ucap Benita seraya duduk di sisi kiri Velove.
Velove menanggapi, "Udah engga bisa santai, Nit. Banyak kata yang kurang pas di laporan ini."
"Alasan doang itu, aku tau kok. Sengaja benerin laporan lagi, biar engga kesepian," ujar Benita dengan senyuman jahilnya.
"Kesepian? No, aku engga pernah merasa kesepian, Nit. I love my job sincerely," ucap Velove membela diri.
Benita menanggapi, "Bibirmu bilang seperti itu, Vel, tapi bagaimana dengan hatimu?"
Velove berhenti mengetik dan menjawab, "Hatiku? Hatiku baik-baik aja kok. Kamu engga perlu khawatir seperti itu."
Benita menyikut lengannya pelan, "Bukalah hati sesekali. Aku punya banyak stok pria idaman untukmu."
"Lalu, aku berpacaran dengan salah satu dari mereka. Setelah itu, aku dan dirinya tak merasa cocok dan putus begitu saja??" Velove menekankan nada pada kata 'putus' dengan kedua matanya yang membulat sempurna.
Benita mendengus kesal, "Ish, kamu ini, selalu merasa ada akhir yang engga bahagia. Coba dulu, Ve."
"Percuma, Nit. Aku akan tetap begini sampai kapan pun," bantah Velove dengan wajah datarnya.
Di saat yang sama, Evelyn memasuki ruangan dan menanggapi, "Yang benar saja, Ve?"
Kemunculan wanita dengan blazer dan bawahan berwarna merah itu sukses membuat Velove bangkit dari tempat duduknya sembari mengapit bibir. Lalu, Ia meninggalkan meja kerjanya dan berlalu ke pantry yang berada di sebrang. Ia memutuskan untuk menyeduh kopi sachet kesukaannya.
Evelyn menghampirinya dan berkata, "Kamu engga berubah ya pendiriannya. Masih enggan melabuhkan hati pada seorang pria."
Velove menghirup kopi buatannya dan melirik Evelyn, "Terus kenapa? Aku bahagia dengan hidupku meski seorang diri."