Setibanya di rooftop kantor, Velove mulai melayangkan beberapa pertanyaan pada Alvin yang sedang sibuk membersihkan sendok dan garpu dengan tissue.
"Kenapa kamu teriak keras kaya tadi?" Velove menatap Alvin dari samping.
Alvin menoleh dan tersenyum pada Velove, "Lagi semangat aja. Engga mungkin 'kan, aku lihat kamu tanpa ngomong apa-apa."
Velove mengalihkan pandangannya sekilas dan berujar, "Ya, tapi 'kan bikin heboh. Mana ada temen-temenku juga tadi."
"Terus kenapa kalau ada mereka?" Alvin menatap Velove dengan air muka senang sembari menyerahkan sendok dan garpu plastik.
Velove hanya melirik sebentar. Lalu, ia menerima peralatan makan tersebut dan berkata, "Mereka bakalan heboh kalau ada cowok datang dan nyari aku ke sini."
Mendengar tanggapan dari teman wanitanya itu tak membuat Alvin melepas senyuman yang melekat di bibirnya. Hal itu sontak membuat Velove terheran-heran.
"Pasti nanti mereka introgasi aku habis-habisan," tambah Velove dengan kepala sedikit tertunduk.
Seraya membuka satu lunchbox yang dibawanya, Alvin menanggapi, "Bilang, aku temanmu. Beres 'kan."
"Semudah itu?" Velove membulatkan kedua matanya, tak percaya dengan tanggapan yang diujarkan oleh pria berkulit putih tersebut.
Dan Alvin pun menyerahkan lunchbox yang dilengkapi dengan katsu set padanya, "Setidaknya, kamu jelasin hubunganku sama kamu itu apa. Daripada, kamu diem, makin heboh mungkin."
Ucapan tersebut membuat Velove terdiam. Ia mulai membayangkan bagaimana solusi yang diujarkan oleh Alvin bekerja. Bayangan akan reaksi keempat sahabatnya pun berdatangan dalam otaknya.
Dari sekian air muka yang terbayang, ekspresi yang sangat mungkin dan nyata terjadi terukir pada wajah Evelyn. Wanita yang tak cukup akur dengannya itu terlihat senang dengan senyum remeh. Seperti biasa, Evelyn memandang dirinya sebelah mata, tak mahir dalam urusan cinta dan lelaki.
Di tengah imajinasi yang membayangi otaknya, ia pun merasakan sepotong ayam katsu mendarat pelan di bibirnya yang memerah. "Kita makan dulu. Bisa basi makanannya kalau kita ngobrol terus." Suara lembut Alvin terdengar sembari menyuapkan sepotong ayam katsu pada Velove.
"Hmm.." Velove pun mengunyah potongan ayam katsu dengan paduan rasa gurih dan sedikit pedas di mulutnya.
"Enak engga? Aku tadi bingung mau pilih paket yang mana lho, Ve," ucap Alvin dengan tatapan ragu. Ia takut jika makanan yang dipesannya tak sesuai dengan selera wanita yang duduk di sisi kirinya kini.
Tatapan dan senyum kecil yang menghiasi wajah tirus itu membuat keraguan Alvin semakin menjadi. "Maaf ya, kalau engga sesuai sama seleramu," imbuhnya.
"Ehm, engga. Ini enak kok. Aku bukan pemilih kalau soal makanan." Velove menandaskan seraya menyendokkan nasi dan lauk. Ia mulai menjajal makanan dari lunchbox miliknya.
Alvin kembali menyunggingkan senyum bersama dengan kedua matanya yang membentuk bulan sabit. Dalam beberapa menit, kedua insan itu pun menikmati makan siang tanpa bersuara. Setelahnya, mereka melanjutkan obrolan yang sempat tertunda.
"Jadi, kamu jarang dideketin cowok nih ceritanya?" Alvin menelisik seraya menggenggam segelas es teh di tangan kanannya.
"Engga jarang banget sih. Mereka deketin dan buka kesempatan, tapi aku yang terus menghindar," jawab Velove jujur. Ia menghindari tatapan Alvin yang terasa menyelidik.
Alvin menatap lawan bicaranya lekat dan mengerutkan kening. Ia merasa ada hal yang menyebabkan Velove bertindak seperti itu. Meski dirinya penasaran dan ingin sekali bertanya, logikanya menolak.
"Well, aku juga punya nasib yang hampir sama. Tapi, kalau aku, bukan dideketin cewek," terang Alvin dengan tatapan teralih.