Alvin yang mendapat respon diam dari Velove menatap setiap detail wajah lawan bicaranya perlahan. Mulai dari dua mata bundar yang tidak begitu besar yang dibatasi dengan hidung mungil. Lalu, tatapan itu merambat turun pada bibir tebal milik Velove yang memerah sempurna.
Paras yang ditatapnya dengan seksama itu sukses membuat jantung Alvin terpacu layaknya kuda yang berlarian menuju garis finish. Ia tak dapat mengelak bahwa wanita di hadapannya ini memiliki kecantikan yang berbeda dari wanita-wanita yang pernah ditemuinya di bar.
"Pertanyaanku bukannya dijawab, malah didiemin. Ditambah tatapannya yang menusuk kaya gini. Ve, kamu ini mau apa benernya?" Alvin berkata dalam hatinya sekaligus bertanya.
Dua detik kemudian, Velove menanggapi pertanyaan dari pria yang duduk di sampingnya kini, "Dekat sebagai teman engga masalah."
"Kalau nantinya lebih, apa masalah buat kamu?" Alvin kembali bertanya, merasa tak puas dengan jawaban yang baru saja didengarnya.
Velove melirik lawan bicaranya sekilas dan menjawab, "Kalau soal itu, aku kurang ngerti, Vin. Aku engga gitu paham untuk urusan percintaan."
Alvin mengulum senyum tipis di bibirnya. Ia merasa jika wanita yang berada di hadapannya kini terbilang polos jika dihadapkan pada urusan perasaan dan hati. "Well, kita lihat nanti. Apa kamu memang beneran engga paham atau menghindar dari masalah krusial itu," ujar Alvin dalam hati.
***
Sejak malam itu, Alvin pun menepati kata-katanya dengan menemui Velove di rumah. Waktu bertemu dari keduanya pun cukup beragam di setiap minggunya, terkadang malam, terkadang sore hari.
Hal itu pun membuat kedua orang tua Velove mengenal Alvin lebih akrab. Di sesi apel ke rumah itu juga pria, yang selalu bekerja larut malam itu, sesekali mengajak Velove ke tempat terdekat yang berada di sekitar perumahan.
Seperti saat ini, mereka sedang berada di depan minimarket yang berada di luar area perumahan. Dengan setangkai es krim coklat di tangan masing-masing, mereka terlibat obrolan ringan seraya duduk berhadapan di kursi yang disediakan oleh pihak minimarket.
"Kamu engga mau jatuh cinta karena takut sakit hati?" Alvin memastikan usai mendengar penuturan Velove tentang cinta dan membangun sebuah hubungan.
Velove tak berani menatap mata lawan bicaranya. Ia memilih untuk mengangguk pelan dibanding berkata-kata lebih lanjut.
Alvin yang melihat hal tersebut menghela napas pelan. Ia paham betul bagaimana rasanya sakit hati, tapi memang itu lah konsekuensi dari membangun sebuah hubungan asmara.
Pria itu menatap Velove lekat dan memaparkan, "Ya, aku sendiri engga memungkiri. Memang resiko dari terikat hubungan itu kemungkinannya ada dua. Kalau kamu menemukan yang tepat, yang namanya sakit hati engga akan berlaku dan sebaliknya."
Pendapat yang terlontar dari bibir Alvin membuat Velove melirik dan menatapnya lekat-lekat. Dua manik mata coklat itu seakan mencoba menggalih lebih dalam maksud dari penuturan Alvin barusan. Meski tak begitu paham, Velove pun memberanikan diri untuk mengutarakan pendapat.