My First and Last

fransisca Lukito
Chapter #30

Part 29

Dua bulan pun dilalui oleh Alvin sebagai teman laki-laki dari Velove. Rutinitas bertamu yang dilakukan oleh Alvin di rumah Velove rupanya membuat sang empunya rumah menjadi terbiasa dengan kehadirannya.

Malahan, wanita dengan wajah tirus itu rutin memeriksa notifikasi pesan di ponselnya jika tak ada jejak satu pun dari sang pria. Seperti saat ini, ia menanti kabar dari seorang Alvin Leonard seperti hari-hari sebelumnya.

"Terakhir dilihatnya jam setengah 5 pagi. Kira-kira, dia ke mana ya? Kok sampe petang kaya gini belum pegang ponsel juga." Velove menatap layar ponsel dengan sorot mata gelisah.

Di dalam benaknya mulai terbesit beragam asumsi. Mulai dari Alvin yang sibuk hingga merasa bosan bertamu di rumahnya. Sesekali, kedua netra coklatnya melirik jam dinding yang terpampang erat di dinding kamar.

"Apa dia telat lagi hari ini? Kok tumbenan engga ngabarin??" Pertanyaan lain dilontarkan oleh Velove pada hatinya.

Kemudian, ia pun melangkah keluar dari kamar dan menuju dapur. Dengan gelas kaca di tangan kanannya, Velove menekan pedal dengan tanda kepingan salju dan mengalir lah air dingin, mengisi gelasnya.

Dengan satu tegukan, air dari gelas itu habis. Di saat yang sama, ia pun mendengar pintu pagarnya diketuk dengan cukup keras, "TEK.. TEKK.. TEKK.."

"Sebentar!" Velove berteriak dan meletakkan gelasnya di meja makan.

Dengan langkah dan gerak geriknya yang cepat, Velove berlalu keluar dari rumahnya dan membukakan pintu pagar dengan segera.

"KLIIIKK.." Bunyi pintu pagar terbuka dan menampilkan sosok yang kabarnya ditunggu sejak beberapa menit lalu.

"Halo, Ve," sapa Alvin dengan tatapan dan senyum ramah pada wanita yang usianya setahun lebih tua dari dirinya itu.

"Habis dari mana? Tiba-tiba aja dateng, kaya hantu kamu, Vin." Velove memberondong dengan pertanyaan dan komentar.

Alvin semakin mengembangkan senyumnya dan menunjukkan dua kantong plastik berisikan sekotak donat dan dua gelas greentea.

"Aku antri beli ini, buat kamu." Alvin menanggapi.

Air wajah Velove yang tadinya terlihat panik kini berubah menjadi lebih santai. "Kamu terus-terusan bawa makanan ke sini. Aku jadi makin sungkan sama kamu," ucapnya.

Lalu, Alvin pun masuk dan melangkah mendahului Velove yang sedang mengunci pintu pagar. "Engga perlu. Aku tulus kok bawainnya." Alvin melepas kaos kaki dan sepatu yang digunakannya.

Dengan senyum samar tersemat, Velove menatap punggung pria itu dari belakang dan berujar dalam hati, "Apa ini? Cuman dibawain makanan tiap kali ke sini, aku udah terhibur banget. Awalnya engga gini kok."

Velove tak menyadari jika apa yang dirasakannya itu merupakan sebuah pertanda bahwa hatinya yang beku telah mencair perlahan. Dinding pertahanannya untuk tidak mencinta tergoyahkan dengan konsistensi yang dilakukan oleh seorang pria dengan profesi yang kurang menjanjikan.

Lihat selengkapnya