Halo, semuanya! Namaku Shabryna Azizah. Umurku sepuluh tahun dan bersekolah di SDIT Indonesia Merdeka. Di sekolahku, kelasnya dibagi menjadi dua, yaitu kelas khusus perempuan dan laki-laki. Aku sangat senang bersekolah di sana.
Aku adalah seorang anak yang berjiwa tomboi. Tidak suka dandan dan tidak anggun. Aku lebih suka warna biru ketimbang warna merah muda atau pink. Aku lebih suka games ketimbang boneka. Aku lebih suka olahraga sepak bola ketimbang basket. Pokoknya, aku itu tomboooi … banget! Ciri khasku celana jeans hitam, baju lengan pendek biru, dan rambut ikal dikucir. Sahabatku sebagian besar laki-laki. Tapi, aku punya seorang sahabat perempuan yang bernama Margharettha atau biasa dipanggil Ghreta.
Margharettha atau Gretha merupakan temanku yang baru pindah dari Singapura. Matanya sipit seperti ayahnya. Ayahnya memang keturunan Jepang. Rambutnya pirang seperti ibunya. Ibunya keturunan Amerika. Tapi, dia itu orang Islam, lho! Dia duduk sebangku denganku di sekolah. Dia feminin. Berbeda banget sama aku yang tomboi dan sifatku persiiis laki-laki!
***
Suatu hari, Ghreta bertanya kepadaku.
“Shabryna, kok, kamu tomboi, sih? Feminin itu enak, lho!” tanya Ghreta.
Aku yang sedang minum orange juice, hampir tersedak mendengar ucapan Ghreta yang agak polos itu.
“Katamu, feminin itu enak. Kataku, tomboi itu hebat!” jawabku.
Ghreta hanya tersenyum. Tapi, wajahnya tampak bingung.
“Hai, Shabryna! Mau main sepak bola lagi?” sapa Deni, salah seorang sahabat laki-lakiku.
“Mmmm … oke, deh,” balasku akhirnya.
“Ghreta, ikut main football, yuk!” rayuku kepada Ghreta.
“Gimana, ya … kata mom … aku harus terlihat cantik dan enggak boleh dekil sama sekali. Tapi, aku mau coba! Kalau asyik, aku akan mencoba merayu mom agar diizinkan menjadi tomboi untuk selamanya,” ujar Ghreta sambil memperlihatkan wajah manisnya.
Aku dan Ghreta berjalan menuju sport center. Ghreta yang belum pernah melihat lapangan sepak bola tampak sangat takjub. Lapangan di sekolah ini memang dibatasi oleh pagar biru. Di sini, ada bermacam-macam lapangan, lho! Ada lapangan sepak bola, basket, bulu tangkis, dan tenis. Bahkan, kolam renang pun ada!
Aku membuka pagar lapangan sepak bola, lalu menggamit tangan Ghreta. Aku mengajaknya masuk. Tidak lama kemudian, aku menutup pagar.
“Ayo, Ghreta! Let’s play football!” ajakku.
Aku menarik tangan Ghreta.
“Aduh, Shabryna! Tanganku sakit, nih!” keluh Ghreta sambil berusaha melepaskan tanganku.
Tapi, Ghreta tidak bisa melepaskan tanganku! Hehehe ….
“Ghreta, kamu ikut tim Adi, ya!” pintaku sambil menunjuk Adi dan kesembilan temannya.
“Terus, Bry … kamu ikut siapa?” tanya Ghreta bingung.
“Aku ikut tim Fadel,” timpalku sambil berjalan menuju Fadel dan kesembilan temannya.
“Tunggu, Shabryna! Aku sama kamu, dong. Aku, kan, baru pertama kali main football,” sergah Ghreta.
Ghreta mengejarku.
“Justru … ah, ya … sudahlah! Kamu mau ikut tim Adi atau Fadel?” tanyaku.
Aku kehabisan kata-kata.
“Fadel,” jawab Ghreta singkat.
Untung saja, aku pemimpin sepak bola. Jadi, aku bebas mengatur-atur pemain.
“Fadel!” Aku memanggil Fadel.
Fadel menghampiriku.
“Di timmu ada siapa saja?” tanyaku.
“Oka, Oki, Arwin, Irwan, Toni, Tino, Bondan, Ahmad, Donang, dan aku.” Fadel menyebutkan teman-teman satu timnya.
“Pindahin … ummm … siapa, ya, yang mainnya jelek?” kataku.
Aku berpikir sejenak.
Siapa, ya, temanku yang tidak terlalu bisa bermain sepak bola? pikirku.
“Donang,” ucap Fadel seperti tahu pikiranku.