My Future List

Nada Lingga Afrili
Chapter #4

3. Arzal Pratama

Hari Sabtu menjadi hari yang paling melelahkan dalam hidupnya. Quinta harus bangun pagi-pagi untuk segera mandi, berpakaian rapi layaknya orang yang akan pergi ke tempat gym, lalu berangkat ke sekolahnya. Quinta ke sana bukan untuk sekolah melainkan ekskul. Kegiatan ekstrakurikulernya memang seru, namun kadang Quinta kelelahan dan membuat badannya sakit-sakit.

Quinta terbiasa berangkat naik motor. Motornya sendiri, bukan motor tetangga.

Menurutnya, pergi ke sekolah naik motor sambil memakai earphone adalah hal yang paling menyenangkan. Walau sangat berbahaya namun Quinta selalu melakukannya setiap hari saat berangkat dan pulang sekolah. Ini memang tidak boleh dicontoh karena bisa mencelakakan diri sendiri, namun Quinta memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Dan sesuatu itu cukup aneh, tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya.

Quinta bisa fokus menyetir apabila telinganya disumbat earphone yang menyalurkan musik ke gendang telinganya. Aneh bukan? Dia bahkan pernah bertanya pada teman-temannya mengenai itu. Jawaban paling bikin Quinta terpingkal adalah jawaban teman sebangkunya saat mereka berdua berada di kantin.

“Eh, lo kalo nyetir motor bisa sambil dengerin lagu lewat earphone nggak?”

“Bisa, Ta. Bisa mati ketabrak.”

Quinta terpingkal-pingkal. “Iiih! Gue serius tau!”

“Ya lagian lo aneh banget pertanyaannya! Untuk fokus ke jalanan aja kadang pandangan kita bisa kabur, gimana kalau sambil dengerin lagu coba? Kalau nyetir mobil sambil dengerin lagu, sih, orang-orang juga biasa kayak gitu.”

“Tapi, kok, gue kalau nggak dengerin lagu lewat earphone waktu nyetir motor malah suka hampir nabrak motor orang lain, ya?”

“Wah, udah kebalik emang dunia, Ta. Dunia lo doang tapi.”

Quinta tertawa lagi. “Serius ih! Kalau ini kuping nggak disumpel pakai earphone tuh kayaknya dunia gue kayak hampa banget gitu. Seakan-akan nggak ada yang nyuruh gue buat jalan ke depan. Dan karena itu gue bisa hampir nabrak-nabrak kalau gue nggak dengerin lagu sambil nyetir.”

Hampir setiap hari Quinta melakukan hal itu. Dan pagi ini Quinta dengan jaket hijau army, kaus hitam polos, celana training hitam, serta rambutnya yang dikucir kuda itu berada di atas motornya dengan wajah yang berseri-seri akibat janji yang dia buat semalam. Mendengarkan lagu gembira dengan volume yang cukup keras dan membuatnya senyam-senyum sendirian. Melihat ke kanan dan ke kiri. Pemandangan yang amat biasa namun terasa istimewa hari ini. Kefokusan dalam menyetir motor yang semakin meningkat akibat telinganya yang disumbat earphone. Kebahagiaannya setelah melepas semua kesedihan di hatinya. Semua tergambarkan dalam satu adegan di pagi hari ini.

Setelah memarkirkan motornya di parkiran sekolah, Quinta dengan tas selempang kecilnya berjalan menuju gerbang lobby sekolah. Berjalan santai penuh senyum bahagia. Bayangkan bagaimana rasanya jadi seseorang yang baru. Seseorang yang melepaskan semua masa lalunya kemudian berjalan dengan seluruh hal yang baru baginya. Senyuman baru, tekad baru, sampai semangat baru. Bayangkan betapa tak gentarnya Quinta saat ini. Dia bertekad untuk mempertahankan perasaan ini sampai selama mungkin. Sampai dirinya menikah nanti!

Lorong-lorong di sekolah sepi, hanya baru ada beberapa murid yang baru datang untuk kegiatan ekskul seperti dirinya saat ini. Kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri, begitu pelan dan menikmati. Bagaimana bisa suasana sekolah yang biasanya membosankan sekarang terasa begitu menyenangkan? Quinta sudah gila. Quinta berjalan seperti itu sampai dia berhasil menyejajari tepi lapangan.

“QUINTA!”

Tiba-tiba seseorang memanggilnya dengan suara berat nan lantang. Seketika Quinta menoleh ke arah sumber suara—yang jika dilihat langsung seperti memakai efek slow motion.

Di sana, di tepi lapangan yang berlawanan dengan tepi di mana Quinta berdiri, ada lelaki yang sangat dikenalinya berdiri sambil melambaikan tangan ke arahnya. Lambaian tangan itu menyuruhnya untuk mendekat ke arahnya. Lelaki itu adalah Arzal. Dan mata mereka berdua bertemu walau jarak lapangan cukup jauh.

Deg... deg... deg....

Seketika saja detak jantungnya jadi tidak tenang. Dia seperti gelisah saat melihat Arzal di sana memanggilnya dengan wajah yang setiap Sabtu dilihatnya itu. Wajah yang biasa sekali, namun pagi ini terlihat jauh berbeda. Seperti ada aura baru yang menghiasi wajah Arzal. Begitu pikir Quinta saat ini.

Saat Quinta menyadari bahwa jantungnya berdetak makin lama makin cepat, saat itu juga Quinta menyadari sesuatu. Satu hal yang paling dia tak sangka. Satu hal yang membuatnya tak habis pikir sampai rasanya jantungnya mau copot saat ini juga. Sesuatu yang datang secara tiba-tiba dan sesuatu yang selama ini sama sekali tak dia sangka.

G-gue... suka sama dia?

Wajahnya ketakutan, namun hatinya berbunga-bunga. Aneh. Sungguh bisa-bisanya dia merasakan hal seperti ini.

Gue? Suka sama Kak Arzal? Ta... lo udah gila?

Pandangannya terus menatap ke arah Arzal. Tubuh Arzal yang tingginya hanya lebih tinggi 10 cm darinya. Rambut cepak yang sekarang sudah tumbuh lebat. Garis wajah yang tegas. Senyum yang hanya terlihat jika sedang melucu. Serta tatapan mata yang intens namun selalu terlihat menyenangkan. Mata itu, mata Arzal yang selalu membuatnya tertawa sekarang malah membuat hatinya berdebar tak karuan.

Di ujung sana Arzal masih berusaha memanggil Quinta agar Quinta lekas menghampirinya, namun Quinta tak kunjung datang padanya dan membuatnya terheran-heran.

“Itu anak kenapa, sih?” Gumam Arzal.

“Quinta! Sini!” Teriak Arzal pada Quinta dengan kedua tangannya yang dibuat seperti toa di dekat mulutnya.

“E-eh? Iya, Kak!”

Quinta lari menghampiri Arzal yang tidak begitu jauh dengan jantung yang masih tidak bisa diajak berkompromi. Duh, kenapa pula jantungnya tak bisa berdetak dengan normal?

Untuk pertama kalinya dalam hidup Quinta, dia merasa ada yang berbeda dari sosok Arzal. Arzal terlihat lebih tampan, lebih memesona, lebih enak dipandang, dan lebih terlihat sempurna. Pokoknya Arzal detik ini terlihat berbeda di matanya. Arzal tiba-tiba berubah menjadi sosok yang dikagumi mata cantik itu. Atau mungkin... Quinta yang berubah?

Tunggu.... Apa perasaannya yang berubah? Kalau begitu, bukankah ini namanya Quinta mulai memandang Arzal sebagai laki-laki?! Bukan hanya sekadar teman?!

“Ngapain lo ke sini, Ta?”

Quinta mengernyitkan dahinya. “Latihan lah, ngapain lagi?”

“Ohh,” tampang Arzal seperti tidak peduli dengan jawaban Quinta. “Kirain kangen sama gue makanya ke sini.”

DEG

“Hah?”

Aduh... mati gue lama-lama di sini nih, batinnya tersiksa.

“Aaa—hahaha,” Quinta tertawa hambar menyembunyikan ketegangan hatinya. “Apaan, sih, Kak?”

Quinta langsung berlalu menuju ruang sekre dengan langkah cepat. Dia menarik dan membuang napasnya terus menerus. Usaha menormalisasikan detak jantungnya. Namun semakin dibuat biasa semakin menjadi-jadi rasanya! Mukanya mulai memerah dan keringatnya mulai terlihat di sekitar wajahnya.

Arzal yang melihat Quinta berlalu begitu saja menatap heran Quinta dari belakang. Dia melipat kedua tangannya di depan dada seperti kebiasannya saat sedang berpikir. Gayanya memang terlihat sok karena wajah seriusnya dibuat-buat, namun itulah dia.

“Hmm... itu anak kayaknya masih kesambet setan yang kemarin.”

***

Sebenarnya apa, sih, yang sedang dipikirkan Quinta saat tadi? Saat matanya menatap mata Arzal dari jauh. Saat seluruh badannya menegang dari ujung kaki sampai ujung kepala. Saat wajah Arzal terasa jauh lebih menyenangkan untuk dilihat. Saat bibirnya bergerak memanggil namanya dengan lantang. Suara lantangnya itu.... Suara orang-orang berseragam yang sudah terlatih bertahun-tahun. Ah, sudah sudah! Kenapa jadi memikirkannya?

Untung istirahat kali ini dipercepat karena ternyata Sabtu ini semua ekstrakurikuler tidak boleh latihan sampai sore karena sekolah akan dipakai untuk rapat, jadi Quinta bisa langsung membeli jajan di depan sekolah lalu membawanya ke depan sekre untuk dimakan dengan santai.

Lihat selengkapnya