My Gravity

Mayra Quellin
Chapter #1

Tembok Pertama

— ”Kadang, lompatan pertama bukan karena berani, tapi karena nggak punya pilihan lain.” —

******


Angin Bandung sore itu menggigit, menelusup pori, menajam hingga ke tulang. Aruna berdiri diam di depan tembok beton setinggi dua meter yang menjulang, abu-abu dan bisu. Permukaannya kasar, dipenuhi lumut tipis di beberapa bagian, retak halus membentang seperti peta. Dari luar, tak ada yang aneh dari dinding itu. Hanya batas biasa. Namun di mata Aruna, dinding itu membentang jauh lebih tinggi, simbol segala yang tak ia pahami, tak ia sentuh: ayahnya, dunia baru yang tiba-tiba mengelilinginya, dirinya sendiri yang terasa asing.

"Mulai dari basic, Run." Suara Dion terdengar dari samping, datar, sabar. Seperti mantra menenangkan. "Lakuin QM dulu, buat buka badan. Rasain lantai. Rasain tangan lo napak."

QM. Quadrupedal Movement. Merangkak. Seperti hewan. Menapakkan kedua tangan dan kedua kaki, bergerak rendah di tanah. Aruna hanya mengangguk kecil, matanya nyaris kosong. Rasa lelah setelah seharian duduk di kelas bercampur dengan keengganan pekat yang melilit di dalam dirinya. Ia hanya ingin rebahan, gulung diri dalam selimut. Atau tenggelam dalam dunia layar dan audio K-Drama, melupakan segala yang nyata dan menuntut. Bukan berhadapan dengan beton dingin yang menguarkan aroma lembap dan lumut.

Namun dalam hidup, tidak semua pilihan bisa ditawar. Sebagian datang sebagai perintah.

Ayahnya bersikeras ia harus ikut ekstrakurikuler fisik. "Biar gak lembek," katanya. Kalimat itu diucapkan dengan gigi terkatup, mata menatap lurus ke depan, tak mencari mata Aruna. "Kamu tuh harus bisa jaga diri. Dunia itu keras, Aru. Tembok-temboknya tinggi."

Waktu itu, Aruna hanya diam, menunduk. Kata 'keras' terdengar seperti gema dari suara ayahnya sendiri. Dalam diamnya, ada riak-riak luka masa kecil, memukul pelan. Ibunya pergi terlalu cepat. Ayah membesarkannya sendiri, dengan prinsip yang lebih cocok untuk barak militer daripada rumah. Disiplin menggantikan kehangatan. Perintah menggantikan percakapan.

"Kalau kamu nggak bisa tahan sama rasa takut, kamu nggak akan bisa tahan hidup."

Itu kata ayahnya. Diulanginya seperti doa, seperti peringatan, seperti hukuman. Aruna sering berharap ayahnya bisa bicara lebih lembut, memilih kata yang berbeda. Tapi kadang, ia juga sadar, mungkin ayahnya tak pernah benar-benar belajar cara menjadi lembut, terutama setelah kehilangan satu-satunya orang yang mungkin mengajarkannya itu. Apalagi harus membesarkan anak perempuan sendirian, dalam kebingungannya sendiri.

Mereka sudah melakukan beberapa gerakan pemanasan, tubuh Aruna terasa sedikit lebih longgar, tapi pikiran masih terbelenggu. Dion mengenalkan istilah-istilah asing: Precision Jump, Vault, Wall Run. Kata-kata itu terdengar seperti bahasa rahasia, milik dunia yang Aruna rasa tak akan pernah ia masuki sepenuhnya. Lalu Dion mengarahkannya pada latihan hari ini. Tembok dua meter itu.

"Oke, Run. Latihan hari ini Tic Tac to Cat Grab," Dion berjalan mendekat ke tembok, menunjuk titik di sampingnya. "Jadi lo lari, jejak dinding pakai kaki kanan. Ini buat dapetin momentum ke atas. Tic Tac. Lalu dorong naik pakai kaki yang napak itu, dan tangkep bibir tembok pakai tangan. Cat Grab."

Dion mendemonstrasikan gerakannya. Langkah, jejak di dinding, dorong, tangan menangkap tepi atas. Tubuhnya menggantung sejenak, kaki mencari pijakan di permukaan tembok. Lalu ia turun dengan ringan.

"Tapi datangnya jangan frontal," Dion melanjutkan, matanya menatap Aruna, bukan tembok. "Datang dari sudut. Kaya lompat ke rahasia orang—harus dari sudut, gak bisa frontal. Kalau lo datang lurus, momentum lo cuma ke depan, bukan ke atas."

Rahasia. Aruna merasakan sengatan kecil di dada. Rahasia. Semua orang punya rahasia, beberapa tersembunyi di balik tembok.

Aruna bersiap. Ia mundur beberapa langkah dari tembok. Posisi berdiri, lutut sedikit menekuk. Udara dingin terasa di paru-paru. Ia membuang napas.

Satu langkah. Dua. Kakinya berlari di tanah, mencari kecepatan. Kaki kanan bersiap. Jejak.

Telapak kaki kanannya menjejak dinding. Sedikit di samping, mencoba mendapatkan sudut yang Dion maksud. Tapi dorongan itu terasa lemah, tidak terhubung. Momentum yang seharusnya membawanya ke atas, justru membawanya ke samping. Tangannya terulur. Hanya menyentuh ujung atas tembok, bukan menangkapnya. Jari-jari menggores permukaan kasar, tak menemukan pegangan.

Lalu—

Lihat selengkapnya