My Gravity

Mayra Quellin
Chapter #2

Jejak Pertama

— ”Kadang yang kita lawan bukan tembok, tapi kenangan buruk yang dibingkai oleh waktu.” —

******


Komunitas parkour Gravity Tamer Bandung bukan sekadar tempat latihan. Ia adalah semacam ritual sore bagi anak-anak muda yang terlalu penuh energi, terlalu banyak masalah, atau terlalu sulit dipahami di dunia biasa. Mereka datang dengan lutut yang pernah patah dan hati yang pernah diremehkan. Beberapa dari mereka pernah kabur dari rumah. Beberapa lainnya datang hanya untuk merasa hidup. Tapi semua yang bertahan, punya satu kesamaan: mereka melompat bukan untuk lari, tapi untuk tetap bertahan.

Hari itu, mereka latihan di taman kota dekat gedung tua. Tempat favorit komunitas karena banyak rail baja dingin, balok beton pendek yang permukaannya mengikis, tangga sempit yang menuntut presisi—surga bagi traceur sejati.

Angin sore membawa aroma debu yang terangkat dari tanah gersang bercampur wangi daun kering yang bergesekan. Beberapa anak baru masih canggung saat mencoba lompatan pertama mereka melewati bench, tangan gemetar mencari tumpuan yang tepat, napas tersengal seperti paru-paru menolak udara. Tapi yang lain—yang sudah lama—bergerak dengan keluwesan menipu gravitasi, tubuh mereka meliuk seperti air yang mencari celah.

Setelah sesi pemanasan yang memacu jantung dan mengendurkan sendi kaku, mereka ngumpul di bangku beton panjang di bawah pohon rindang. Bayangan daun menari di wajah mereka. Bang Rio—sosok senior sekaligus pendiri komunitas yang otot lengannya terbentuk dari bertahun-tahun menaklukkan beton dan besi—mulai bercerita tentang pengalamannya ikut SouthEast Asia Parkour League.

"Gue ikut dua kategori," katanya, jari-jarinya menggenggam sebungkus keripik pedas, remah-remahnya menempel di ujung kuku. "Speed Run sama Style Battle."

Seorang anak muda di depannya menyimak serius, matanya memantulkan cahaya sore.

"Di Speed Run, lo cuma mikirin satu hal: gimana caranya finish paling cepat. Nggak peduli gerakan lo kaku atau nggak. Tapi Style Battle beda." Bang Rio berhenti mengunyah sejenak. "Di Style Battle, lo harus punya Flow. Gerakan lo harus ngalir dari satu obstacle ke obstacle lain tanpa jeda, tanpa ragu. Kayak air, nggak ada yang mentok di batu."

Dia meneguk air dari botolnya.

"Gue dulu nervous parah waktu pertama kali lomba. Kaki rasanya mau copot, perut kayak diaduk. Kepala mikir macem-macem." Bang Rio tersenyum tipis, mengenang ketegangan itu. "Tapi Bang Ekal—mentor gue dulu—bilang: 'Lo nggak tanding sama orang lain. Lo cuma tanding sama rasa takut sendiri.' Itu mindset parkour yang paling utama. Lo nggak bisa ngilangin takut, takut itu insting. Lo cuma perlu jinakin dia, ajak dia kerjasama."

Aruna duduk di tepi bangku, ponsel di tangannya. Jari-jemarinya bergerak di layar, mencatat istilah-istilah yang Bang Rio sebutkan. Ini adalah kali ketiga Aruna melangkah di antara mereka, masih dalam tahap mencoba memahami bukan hanya gerakannya, tapi bahasanya. Dunia ini—dunia parkour—punya kosa katanya sendiri, ritualnya sendiri. Setiap istilah punya bobot, punya makna. Lazy Vault bukan sekadar gerakan malas, tapi strategi hemat energi untuk transisi cepat. Kong Vault bukan cuma gaya pamer kekuatan, tapi bentuk efisiensi lompatan yang diadaptasi dari gerakan primata.

"Lo belum pernah jamming, Run?" Yani, cewek tomboi dengan rambut cepak yang selalu berhasil membuat anak cowok paling berani pun berpikir dua kali sebelum mengusiknya, menoleh ke arah Aruna. Lengan Yani penuh goresan luka kecil, peta petualangan di kulitnya. Dia jago Lazy Vault, gerakannya cepat dan rendah, sulit diikuti mata.

Aruna mengangkat bahu. "Baru ikut 3x. Itu pun masih belum bisa bedain kong vault sama speed vault. Masih bingung."

Yani terkekeh, senyumnya lebar. "Wajar. Kong Vault itu dua tangan ke depan, kayak monyet mau loncat. Dua tangan nyentuh obstacle barengan, badan ngikutin di tengah." Dia menunjukkan gerakannya dengan tangan. "Speed Vault cuma satu tangan, dipake kalo lo mau lari terus lompatin sesuatu tanpa ngerem. Harus cepat, makanya namanya speed. Lazy Vault itu…" Yani mencondongkan tubuh, berbisik jenaka, "...kayak maling mau masuk rumah tetangga. Satu tangan nahan, satu kaki duluan, badan nyusul cepet lewat samping."

Tawa ringan pecah di antara mereka.

"Eh, jangan salah," sambar Dion, duduk di samping Aruna dan menyodorkan sebungkus biskuit. Dion punya tubuh kurus tapi lincah, matanya selalu mengamati detail medan. "Ada juga Dash Vault, Dive Roll, Wall Spin. Banyak banget istilahnya."

Lihat selengkapnya