— “Gerakan paling menyakitkan bukan yang gagal, tapi yang lahir dari niat yang salah.” —
******
Langit Bandung sore itu seolah ikut memeluk diam. Abu-abu. Dingin. Tidak memihak. Ada kalanya semesta berhenti bicara, memilih menjadi saksi bisu dari drama yang telah digariskan. Begitulah yang dirasakan Aruna, setiap kali kakinya menapak di atas gedung parkir tua lantai enam itu.
Di sana, komunitas parkour Gravity Tamer bersiap memulai latihan mingguan mereka. Lompatan-lompatan kecil sebagai pemanasan, gumaman instruksi dari Dion, dan denting langkah di beton mulai mengisi udara. Bagi sebagian besar, ini adalah pelepasan energi. Bagi Aruna, ini adalah ritual penebusan. Ia bukan pemula yang ingin jadi atlet. Bukan juga pengagum yang tersesat di komunitas penuh tubuh lenting dan semangat urban ini. Ia hadir bukan untuk belajar. Ia hadir untuk mengingat.
Parkour, baginya, adalah altar. Sebuah ruang di mana hukum gravitasi bukan hanya fisika, tapi metafisika. Tempat ia menyimpan rasa bersalah yang sudah terlalu lama dikubur. Setiap gerakan bukan upaya meraih bebas, tapi penebusan yang lambat—dan mungkin tak akan pernah cukup. Ia yang dulu menari dengan riang di panggung, merasakan setiap irama menjadi bagian dari jiwanya, kini membiarkan tubuhnya menghantam kerasnya beton. Setiap benturan, setiap memar, adalah pengingat. Sebuah melodi tanpa nada yang terus berputar di kepalanya: suara retakan itu. Sebuah melodi yang mengiringi ingatan akan gerakannya sendiri di tempat Raka jatuh, dan bagaimana hal itu mengakhiri kelincahan yang dulu begitu ia kagumi.
******
Tiga tahun lalu. SMA kelas tiga.
Aruna sedang mempersiapkan panggung pertunjukan tari untuk festival budaya antar sekolah. Klub tari sekolahnya mendapat slot sore hari. Panggung semi permanen berdiri berdampingan dengan arena parkour yang akan dipakai lomba keesokan harinya. Sebuah ironi takdir yang baru ia sadari bertahun-tahun kemudian, bagaimana dua dunia—miliknya yang puitis dan dunia Raka yang berani—berada begitu dekat, menunggu saat untuk bertabrakan.
Aruna baru saja selesai mengepel area panggung yang sering digunakan klub tari untuk menari balet, agar tidak licin. Tangannya masih sedikit basah, terasa lengket sisa sabun, saat ia memegang tiang bambu tinggi yang akan digunakan sebagai penyangga tirai. Tiang yang seharusnya ia bawa keluar setelah dipakai, namun ia memutuskan meletakkannya di sisi panggung, sementara. Sebuah keputusan sepersekian detik, yang mengubah segalanya. Ia meletakkan tiang itu di permukaan yang sedikit miring, tak terlihat dari atas, dan permukaannya masih lembap karena rembesan air dari sisa pelan Aruna tadi. Sebuah kombinasi kecil dari kelalaian dan kebetulan.
Beberapa menit kemudian, ia dengar sorakan. Raka—salah satu peserta unggulan—mulai sesi uji coba lintasan.
Aruna tak pernah menyangka, lintasan lompatan Raka berpapasan tepat di bawah titik tempat tiang itu berdiri.
Dan saat kaki Raka menjejak dinding untuk melakukan Dash Vault, tiang bambu itu—didorong gravitasi dan sedikit angin—mulai goyah. Jantung Aruna mencelos. Dunia seolah melambat, menjadi film bisu yang diputar dalam gerakan lambat. Ia teringat lompatan sempurna Raka saat menyelamatkan kucing kecil itu, yang dulu begitu memukaunya di sore berdebu. Sebuah aksi heroik tanpa pamrih. Ironisnya, kini ia akan menjadi penyebab lompatan fatal.
Tiang itu jatuh. Terlalu cepat untuk dihentikan.
Raka kehilangan keseimbangan saat mendarat, tubuhnya terpeleset, dan jatuh menghantam sisi beton dengan kaki kanan lebih dulu. Bunyi "KRAK!" yang tajam dan mengerikan terdengar jelas, seperti ranting patah di keheningan, disusul jeritan Raka yang tertahan. Tubuhnya ambruk dengan lutut kanan terpelintir pada sudut yang mengerikan, sebuah posisi yang tak mungkin dilakukan oleh tulang dan sendi yang sehat. Dunia Aruna ikut ambruk bersamanya, berkeping-keping menjadi serpihan rasa bersalah.
Suara itu terus hidup dalam kepala Aruna hingga kini. Sebuah simfoni horor yang tak pernah mati.
******
Setelah kejadian itu, Aruna tidak bicara pada siapa pun. Semua orang mengira itu kecelakaan biasa. Tidak ada saksi. Tidak ada kamera. Dan Raka, walau harus menjalani operasi besar rekonstruksi ligamen lutut—seperti sebuah bangunan yang runtuh dan harus dibangun kembali dari pondasinya—serta fisioterapi berbulan-bulan yang menyakitkan, tidak menyebut siapa pun sebagai penyebab. Dia hanya diam, menerima takdir, atau mungkin memang tidak tahu.
Aruna mundur dari dunia panggung. Menolak ikut lomba. Menolak pentas. Menutup rapat rasa bersalahnya, dan pergi sejauh mungkin dari dunia Raka. Ia mencoba menghapus jejak, seperti air yang berusaha menghilang dari gurun.
Ia pindah kota. Menyibukkan diri dengan menari. Tapi selalu menjauh dari ruang-ruang yang bisa mempertemukannya lagi dengan lelaki itu. Setiap kali kakinya menari, bayangan lutut Raka yang terpelintir selalu muncul, menghancurkan setiap irama yang dulu ia puja. Tari yang dulu adalah pelipur lara, kini menjadi pengingat nyeri.
Ia pikir, menjauh adalah bentuk penghormatan terakhir.
Sampai suatu sore, tiga tahun kemudian, ayahnya menyodorkan brosur: Komunitas Parkour Gravity Tamer membuka kelas dasar. Aruna merasakan sebuah pukulan samar di dada, bukan fisik, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Ia tahu ayahnya ingin ia 'tangguh', ingin ia 'punya fisik' seperti yang diucapkan berulang kali. Tapi bagi Aruna, brosur itu bukan sekadar tawaran kegiatan. Itu adalah undangan ke neraka yang sudah ia hindari, sebuah cerminan dari lompatan heroik Raka yang pernah ia saksikan, kini terdistorsi oleh rasa bersalah. Seolah takdir menuntunnya kembali ke gerbang yang sama, gerbang yang telah ia tutup rapat.
“Coba ini,” katanya. “Kamu harus punya fisik. Hidup itu keras.”
Aruna tersenyum hambar. Tapi di dalam dadanya, ada desir pelan yang bergerak. Ia tahu, hidup sedang memberinya sesuatu.
Bukan kesempatan. Tapi pengingat.
******