— “Parkour bukan tentang melompat setinggi mungkin. Tapi tentang mengenal kapan kita siap untuk melompat, dan kapan kita harus menunggu tubuh kita menyusul hati kita.” —
******
Aruna menatap langit. Bukan sekadar hamparan biru atau abu-abu biasa. Langit Bandung sore itu menjelma jadi kanvas raksasa yang dilukis dengan kuas senja. Jingga tua perlahan memudar, meresap ke dalam ungu pekat di batas cakrawala, seolah alam semesta sedang melipat diri, mempersiapkan tidur panjang. Di atas gedung parkir tua lantai enam, tempat komunitas Gravity Tamer biasa mempraktikkan filosofi gerakan mereka, udara terasa lain. Lebih tipis, lebih tajam, menusuk paru-paru Aruna dengan aroma semen yang mengering, karat besi tua, dan rasa gentar yang tak pernah sepenuhnya hilang, bahkan setelah berminggu-minggu ia berada di sini.
Aruna memutar kepala perlahan, meninjau sekeliling. Di bawah sana, Bandung menjalar dalam kelip lampu sore, bagai sungai cahaya yang perlahan menyala, satu per satu, membentuk pola-pola abstrak di kegelapan yang mulai merangkak naik. Titik-titik cahaya itu tampak begitu kecil, begitu mudah hilang, begitu rentan untuk dihantam. Dari ketinggian ini, Aruna merasa seperti sehelai daun kering yang bisa kapan saja diterbangkan angin, jatuh entah ke mana, tanpa kendali. Sebuah ironi yang tak pernah selesai ia renungkan: di satu sisi, ia datang untuk menjinakkan gravitasi, di sisi lain, ia merasa seperti budak abadi dari hukum tak terhindarkan itu.
Ini adalah sesi latihan rooftop pertama Aruna. Dulu, panggung adalah rumahnya. Kaki baletnya menjejak lantai kayu yang hangat, indra penciumannya familiar dengan aroma rosin dan keringat, tubuhnya bergerak dalam simfoni melodi yang mengalirkan kebebasan. Kini, rumahnya adalah beton kasar, dan iramanya adalah detak jantung yang berpacu kencang, menabuh genderang kecemasan. Komunitas Gravity Tamer, dengan jiwa urban dan keberaniannya, memang suka mencari tantangan. Melompat melampaui batas yang tak terlihat, menaklukkan ketinggian yang mengundang rasa takut. Bagi Aruna, setiap ketinggian adalah peringatan. Sebuah pembatas tak kasatmata yang terus berbisik, jangan sentuh, jangan melangkah. Bahaya.
Kaki Aruna terasa berat, seolah semen dingin ini menahannya, mengakar kuat ke tanah. Ia menatap permukaan aspal kasar yang mulai mendingin, merasakan pori-porinya yang kasar di telapak tangan saat ia refleks menyentuhnya, dinginnya meresap hingga ke sendi. Bau debu dan aspal bercampur dengan aroma amis angin sore, sebuah kombinasi yang anehnya justru memperkuat rasa mual di perut Aruna. Ini bukan sekadar lokasi latihan; ini adalah arena psikologis, tempat Aruna harus berhadapan dengan bayangan tergelapnya.
"Sini," suara Raka terdengar dari sisi kanan. Tenang, namun berat. Tak menggelegar, tapi menggema dalam dada Aruna seperti dengung pintu besi tua yang bergeser, membuka lorong rahasia di dalam hati Aruna. Lorong yang penuh memori. Raka berdiri di ujung lain atap, dekat sebuah pembatas beton setinggi dada. Siluet tubuhnya yang lentur, bahkan dalam balutan hoodie gelap, tampak seperti pahatan sempurna di ambang senja. Raka memberi isyarat dengan dagu, menyuruh Aruna mendekat. Aruna melangkah perlahan, langkah kakinya teredam oleh permukaan aspal. Setiap langkah membawa beban ganda: beban tubuh Aruna, dan beban ingatan yang menjalar, berat seperti timah cair.
Dion sudah lebih dulu mencoba lompatan—precision jump—dari ujung rooftop ke rooftop di sebelahnya. Jaraknya sekitar satu setengah meter, cukup untuk membuat lutut Aruna gemetar dan napas Aruna tertahan di tenggorokan. Sebuah lompatan yang tampak sepele bagi seorang traceur berpengalaman, namun bagi Aruna itu adalah jurang yang menganga. Jantung Aruna memompa darah dengan keras, berpacu dalam ritme tak beraturan di rongga dadanya. Aruna bisa merasakan adrenalin membanjiri pembuluh darah, ujung-ujung jarinya dingin. "Wusssshhh!" Dion melayang di udara, tubuhnya terkontrol sempurna, pendaratan bersih dengan kedua kaki rapat, sedikit menekuk lutut untuk meredam impak, lalu berdiri tegak. Sebuah soft landing yang nyaris tanpa suara, sebuah bukti penguasaan momentum yang sempurna. Ia tersenyum lebar, melambaikan tangan. "Aman, Aru! Gue di sini!" Suara Dion adalah satu-satunya melodi ceria di antara gema ketakutan Aruna, sebuah jangkar di tengah badai batin.
Raka tidak menatap Aruna secara langsung, pandangannya justru tertuju pada titik pendaratan di seberang. "Mata lihat ujung sana, bukan kaki. Fokus ke tempat mendarat. Jangan pikirin jurangnya," katanya, suaranya seperti bisikan angin yang tahu rahasia terdalam. Sebuah intruksi sederhana, namun kaya akan filosofi parkour: fokus pada tujuan, abaikan ketakutan yang menganga di bawah.
Aruna mencoba mengangguk, tapi kepala Aruna terasa berat, seolah ada beban tak terlihat menindihnya. Ia menengok sejenak ke bawah. Jalanan kota tampak seperti sumbu panjang dengan lampu kendaraan seperti nyala korek yang bergerak. Sebuah kesadaran menusuk Aruna: dari sini, ia bisa melihat titik di mana Raka terjatuh tiga tahun lalu. Bukan di gedung ini, tentu saja, tetapi di lokasi yang tak seberapa jauh dari pandangan Aruna, di tengah kerlip lampu yang kini tampak tak berarti. Punggung Aruna dingin karena keringat, bukan karena hawa dingin, tapi karena rasa deja vu yang menusuk tulang. Aroma karet sepatu yang terbakar, jerit tertahan Raka... semuanya seolah kembali hidup.
"Langkah pertama, satu setengah meter run-up. Jangan lebih. Terlalu cepat, lo bakal kelebihan momentum. Terlalu pelan, lo nggak bakal dapet dorongan yang cukup," kata Raka sambil mencontohkan. Ia mundur, mengambil posisi. Gerakannya cepat, tepat, namun tak sebulat dulu. Ada sedikit kekakuan, sebuah keraguan sepersekian detik yang nyaris tak terlihat saat ia menyiapkan tolakan. Aruna, dengan mata penari yang terlatih untuk menangkap setiap nuansa gerakan, menangkap gerakan kecil di lutut Raka saat ia mendarat di sisi seberang. Hanya sesaat—sedikit bengkok, lalu dibetulkan oleh tubuh yang terlatih, seperti sebuah melodi yang nyaris sumbang namun segera kembali pada ritmenya. Lutut kanan itu. Lutut yang sama. Lutut yang membawa cerita paling menyakitkan dalam hidup Aruna.
Aruna menelan ludah. Suara "KRAK!" yang familiar—yang terus menghantui mimpi Aruna, yang telah menjadi orkestra horor pribadi Aruna—kembali menggema di pikiran Aruna. Ia teringat bagaimana suara itu seolah membelah udara, mematahkan bukan hanya tulang, tetapi juga semangat yang pernah melambung tinggi. Itu adalah suara yang mengakhiri sebuah era, bukan hanya bagi Raka, tetapi juga bagi Aruna. Sebuah suara yang mengubah warna dunianya dari panggung gemerlap menjadi beton kelabu.
Raka berjalan kembali ke sisi Aruna. Ia mengatur napas, memandang kota yang memerah. Senja kini makin dalam, menyisakan jejak oranye yang memudar di cakrawala. Bayangan Raka yang memanjang jatuh di samping bayangan Aruna, seolah mereka adalah dua entitas yang terikat oleh takdir yang sama.
"Tiap orang punya batas rasa takutnya," ujar Raka, suaranya tenang, namun penuh ketajaman yang menembus hingga ke inti. "Tapi kadang, rasa takut itu cuma bayangan. Dia tumbuh makin besar kalau kita terus membelakanginya, sampai akhirnya dia menguasai dan jadi batas yang nyata. Padahal, dia cuma ilusi." Matanya menatap lurus ke depan, ke arah jurang di antara dua atap itu, seolah ia sedang berbicara pada bayangannya sendiri, bukan pada Aruna. Itu adalah filosofi inti parkour: menghadapi dan menembus batas mental.