Guanlin tengah berada dirumah Lalisa. Keduanya duduk di sofa berhadap-hadapan. Baik Lalisa ataupun Guanlin keduanya masih belum ada yang memulai pembicaraan, keheningan diruangan tengah rumah Lalisa menjadi teman keduanya. Lalisa hanya menatap kosong kearah Guanlin, sedangkan Guanlin ia menampilkan ekspresi bersalah.
“Maaf, ini semua diluar kendaliku. Aku dijodohkan, sebenarnya aku ingin menolak perjodohan ini, tapi tak bisa. Sepertinya hubungan kita harus berakhir sekarang.” Guanlin memberanikan menyentuh lengan Lalisa, sebenarnya ia sering melakukannya tapi karena situasi sekarang berbeda ia menggengam lengan itu dengan sedikit bergetar. Guanlin sangat mencintai Lalisa, tapi ia harus melepaskan gadis itu untuk melindunginya, keluarganya terlalu menentang hubungan mereka, keluarganya terlalu peduli dengan persetanan harta, tahta dan apalah itu.
Lalisa menggengam kedua lengan Guanlin dengan erat, ia tak dapat menahan air matanya hingga cairan bening itu mengalir bebas tanpa permisi dipipinya.
“Kau tahu aku tak punya siapa-siapakan Guan? Aku hanya punya kau. Kenapa? Kenapa kau harus pergi juga? Apa karena aku anak haram, sehingga semua orang terlalu jijik untuk dekat denganku? Kenapa kemiskinan selalu jadi penghalang utama sebuah hubungan? Dan kenapa__ ke-na-pa ini semua terjadi padaku?” Lalisa tak bisa lagi menahan tangisnya.
“Sekali lagi maaf, aku harus melakukannya walaupun aku tak suka dengan keputusanku.” Guanlin melepas pelan tangan Lalisa, ia harus pergi. Guanlin berdiri dan berniat untuk beranjak namun tangan mungil itu dengan sigap mencekal pergelangan tangan Guanlin.
“Kau tak bisa melakukan ini padaku Guan. Kau_kau sudah berjanji bukan? Kau berjanji akan selalu ada untukku, kenapa kau juga pergi seperti semuanya? Ibuku, nenekku, dan sekarang kau. Kenapa kalian semua harus meninggaalkan aku?”
“Aku tak pergi, aku akan tetap menjagamu. Tapi dalam hubungan yang berbeda, aku akan menjadi temanmu.”
“Kita berjanji untuk menikah bukan? Hidup dan tua bersama, itu juga yang kau janjikan padaku.” Tangan Lalisa menggenggam lebih erat.
“Sudah kukatakan hubungan kita berakhir disini, mengertilah ini semua kulakukan demi dirimu. Seharusnya kau bisa lebih mengerti, jangan bersikap kekanak-kanakan. Aku hanya tak ingin kau terluka karena ulah kedua orang tuaku.” Guanlin berusaha meyakinkan Lalisa, ia hanya tak mau terjadi sesutu dengan orang yang ia kasihi.
“Bagaimana kalau kita menjalin hubungan dengan sembunyi-sebunyi dari ke__"
“KENAPA KAU SANGAT KERAS KEPALA!! Sudah ku katakana kita berakhir.” Guanlin menaikan nada bicaranya, dan ini pertama kali Lalisa mendengar Guanlin berteriak. “Maaf aku tak berniat membentakmu Lisa, aku hanya__"
Lalisa tak menghiraukan ucapan Guanlin, ia berlari meninggalkan Guanlin yang masih mematung ditempat. Lalisa hanya kecewa pada kekasihnya, karena kali ini Guanlinnya nampak seperti orang lain, ia tak seperti Guanlin yang Lalisa kenal. Dan Lalisa kesal pada keadaan yang sekarang, semuanya kacau. Ia terus berlari dan sebuah keputusan terlintas dipikirannya, mengakhiri hidupnya adalah cara terbaik untuk lepas dari sebuah penderitaan.
Keputusannya nampak telah bulat, Lalisa berada disebuah rooftop gedung yang berada dilantai 20, ia kini berada disebuah tepian merentangkan kedua tangannya seakan bersiap untuk terjun kebawah. Tak ada rasa takut yang nampak pada raut wajahnya, hanya kesedihan yang nampak jelas terlihat disana. Langkah demi langkah ia bawa menuju tepian dan tanpa ragu tubuh itu meluncur bebas dari atas hingga..
BUAGHH!!
Jatuh sempurna mengenai aspal. Darah segar berceceran dan menutupi tubuh Lalisa, tubuh itu dipenuhi dengan darah dan luka memar disetiap bagiannya. Karena malam ini cukup larut tak ada orang disana, dan dari arah kejauhan sesuatu nampak terbang cepat menghampiri Lalisa.