My Ice Boy

Bentang Pustaka
Chapter #1

Part 1: Teori Lima Detik

“Kalau si Kutub Es itu natap lo lebih dari lima detik, cuma ada dua kemungkinan. Yang pertama, dia marah besar sama lo. Dan yang kedua, dia jatuh cinta sama lo.”

“Timur? Barat? Gunung es?” Kening Fira berlipat-lipat sesudah membaca sebuah pesan LINE di ponsel Salsa. Ia kebingungan mengartikan isi pesan misterius itu.

Salsa merebut ponselnya dengan kesal. “Gue minta bantuan lo buat artiin pesan ini, bukan buat bikin gue tambah bingung!”

Salsa membaca lagi pesan itu, berharap otaknya tiba-tiba mendapat pencerahan. Bukan tanpa alasan Salsa berusaha keras mengartikan pesan misterius yang bahkan hingga kini tidak ia ketahui siapa pengirimnya. Dan, bukan tanpa alasan pula Salsa menamai pengirim pesan itu “Miracle”. Nyatanya, begitu banyak kejadian aneh—atau sering disebutnya “mukjizat nyata”—setiap kali Salsa berhasil melakukan misi dari si pengirim pesan itu.

Semua berawal tujuh tahun lalu, ketika Salsa masih duduk di bangku kelas IV sekolah dasar. Ia tidak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri kalau Luna sampai tidak bisa tertolong saat itu.

Lalu, Salsa menemukan kertas misterius tersebut. Awalnya ia mengabaikannya. Namun, ketika menemukan kertas dengan tulisan serupa setiap hari, ia menjadi penasaran.

Isi pesannya meminta Salsa membacakan dongeng setiap malam untuk adik perempuannya yang sedang terbaring koma di rumah sakit—Luna. Salsa kala itu masih berusia 9 tahun sementara adik kesayangannya berusia 4 tahun.

Tentu ia belum paham bahwa Luna bisa saja tidak tertolong bila rumah sakit menghentikan segala alat bantu untuk menopang tubuh kecil adiknya itu. Yang Salsa tahu, orang tuanya tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pengobatan.

Salsa pernah melihat mamanya diam-diam menangis di sudut dapur karena hal ini. Juga, ia pernah mendengar papanya menelepon entah siapa untuk meminjam uang yang berakhir dengan isak tangis.

Bagaimanapun, Salsa hanya mau Luna-nya kembali. Ia rindu celotehan-celotehan riang dari mulut kecil adiknya. Maka, Salsa mulai membacakan cerita untuknya. Salsa mau Luna terbangun ketika ia membacakan dongeng Putri Salju kesukaannya. Salsa akan membacakan dongeng lain apabila dirasa Luna sudah bosan mendengar dongeng yang sama selama 20 malam berturut-turut. Asalkan Luna mau bangun, mengeluh langsung kepadanya seperti biasa dengan suara cadelnya. “Bocan, Kak. Anti celita lain.”

Dan, mukjizat itu terjadi. Miracle. Salsa tidak lagi melihat mamanya menangis di pojok dapur. Salsa juga mendengar isak sedih papanya kini berganti dengan tangis haru. Papanya berkali-kali mengucap syukur sambil berterima kasih karena ada seorang donatur yang tidak ingin disebutkan namanya yang telah melunasi biaya perawatan Luna. Bahkan, ia bersedia menanggung semua biaya hingga Luna sadar.

Miracle tidak berhenti sampai di situ. Luna sadar seminggu kemudian. Salsa senang luar biasa. Adik kesayangannya sudah kembali.

Sejak peristiwa tersebut, pesan misterius selalu datang pada saat-saat sulit Salsa. Dan, selalu saja berakhir indah ketika Salsa berhasil menyelesaikan misi dengan baik.

Seiring berjalannya waktu, pesan misterius itu masuk melalui media yang lebih modern. Seperti dua tahun belakangan, ketika Salsa duduk di bangku sekolah menengah atas dan mulai memiliki ponsel, pesan misterius masuk melalui pesan LINE.

“Kali ini, apa imbalannya kalo lo berhasil jalanin misi?” tanya Nadin santai. Sebelah tangannya sedang sibuk memindahkan keripik kentang kesukaannya dari dalam kemasan ke mulutnya.

“Ini penting banget, Nad. Kalo gue berhasil kali ini, dia bakal kasih tahu siapa dia sebenarnya!” sahut Salsa menggebu-gebu.

“Lo yakin dia serius?”

“Dia nggak pernah main-main sama misinya,” ucap Salsa. “Gue nggak boleh gagal. Gue pengin banget tahu siapa dia. Gue mau pastiin kalo dia adalah orang yang sama yang gue duga sejak tujuh tahun lalu. Gue nggak mau dia sembunyi lagi.”

Salsa kembali membaca dengan saksama pesan misterius di ponselnya. Kepalanya sudah hampir pecah memikirkannya sejak semalam. Namun, ia tidak mau menyerah.

“Sini, pinjam!” Nadin merebut ponsel di tangan Salsa, kemudian membacanya pelan-pelan dalam hati. Ia menghentikan sejenak kunyahan keripik di mulutnya dan kembali bersuara. “Nggak salah lagi. Yang dimaksud ‘gunung es’ di sini pasti Galen Bagaskara!” komentarnya tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari layar ponsel.

“Galen Bagaskara?” Salsa mengulang nama itu dengan alis bertaut.

“Iya, cowok yang dapat julukan Kutub Es di sekolah kita. Masa lo nggak kenal, sih?”

Salsa berupaya mengingat, tetapi tak berhasil membayangkan wajah seseorang dengan nama yang disebutkan Nadin tadi.

“Gue tahu!” Fira menyahut. “Si kakak kelas itu, kan? Yang selalu jadi peringkat pertama di sekolah?”

Lihat selengkapnya