“Sering kali harapan tidak seindah ekspektasi.”
“Dia udah punya pacar?”
Pertanyaan itu yang terlontar kali pertama ketika Salsa melihat targetnya sedang berjalan bersisian dengan seorang cewek. Dugaan Salsa bukan tanpa alasan. Ia melihat cewek bertubuh nyaris sempurna itu menempel sangat rapat kepada Galen. Tangannya bergelayut manja memeluk lengan Galen.
“Namanya Regina Putri. Seangkatan sama Kak Galen.” Nadin ikut berhenti tepat di sebelah Salsa. Matanya mengikuti arah pandangan Salsa ke koridor kelas XII. “Statusnya nggak jelas sampai sekarang. Dia ngaku-ngaku pacarnya Kak Galen. Tapi, Kak Galen nggak pernah anggap dia pacar. Tuh, lihat aja sendiri.” Nadin menunjuk dengan dagunya.
Salsa melihat Galen menghentikan langkah tiba-tiba. Cowok itu menatap Regina dengan tatapan peringatan sambil menunjuk tangannya yang dipeluk cewek itu.
Regina terpaksa melepaskan pelukan sambil mencebikkan bibir. Namun, tidak berapa lama, cewek itu kembali menyusul Galen yang sama sekali tidak memedulikannya.
“Gatel banget, sih, tuh cewek.” Salsa risi sendiri melihat tingkah Regina.
“Lo juga harus kayak gitu, Sal, buat narik perhatian Kak Galen!” Fira ikut berkomentar sambil menepuk bahu Salsa.
“Idih, ogah!” Salsa menyahut tanpa pertimbangan. Membayangkannya saja sudah membuat Salsa geli sendiri. Agresif sama sekali bukan kepribadiannya.
“Terus, lo mau diem aja, nunggu Kak Galen datengin lo duluan?” Fira menatap Salsa. “Sampai ayam bisa berenang juga nggak bakal, deh, Kak Galen deketin lo duluan. Taruhan sama gue.”
Salsa mulai berpikir. Membayangkan dirinya berada dalam posisi Regina saat ini sungguh membuat sekujur tubuhnya merinding. Ia tidak pernah berdekatan dengan cowok seperti itu. Apalagi bertingkah genit seperti Regina.
“Kalau lo nggak sanggup, mending mundur aja, Sal. Nggak usah nyiksa diri sendiri,” hasut Nadin, yang sebenarnya berniat menyulut semangat Salsa.
“Jangan, dong. Gue kepingin banget tahu siapa pengirim pesan misterius itu.”
“Ya, balik lagi ke lo sendiri. Lo siapnya kapan?” tantang Nadin.
“Tapi, gue nggak yakin Kak Galen bakal ngelirik lo walau bertingkah genit kayak Kak Gina.”
Salsa langsung menoleh ke arah Fira. “Kenapa nggak?”
“Ya, lo pikir aja sendiri. Cewek secantik Kak Gina aja nggak dipeduliin. Apalagi yang kayak lo.”
“Asem!” Salsa tersinggung.
Fira dan Nadin kompak tertawa, membuat Salsa merasa pembelaannya sia-sia. “Gue pasti bisa, kok, cairin si Kutub Es tanpa perlu jadi genit,” yakin Salsa. Ia masih tersinggung dengan tawa dua orang di dekatnya yang belum juga mereda.
***
Perlu mental baja bagi adik kelas untuk nekat menginjakkan kaki di area kelas XII.
Seperti Salsa saat ini. Entah sudah berapa pasang mata yang menelitinya dari atas hingga bawah, membuat keberanian Salsa hampir merosot ke titik paling rendah.
Dan, berdirilah Salsa di sini sekarang, tepat di depan kelas XII IPA 1 sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi. Nadin memberinya info bahwa targetnya berada di kelas ini.
Sudah banyak murid yang keluar dari kelas. Salsa hanya berharap Galen masih ada di sana.
“Permisi, Kak,” kata Salsa kepada seorang cowok tinggi berkacamata yang baru saja keluar dari kelas. “Ada Kak Gal—”
“Salsa?”
Salsa langsung menoleh ke seseorang yang sudah ada di sampingnya. Cowok itu menunjuknya sambil mengucap namanya dengan nada ragu.
“Nama lo Salsa, kan? Yang ngajak kenalan kemarin?” tanya Arnan memastikan.
“Eh?” Salsa terkesiap, cukup terkejut disapa seperti itu. “I-iya, Kak.”
Merasa tidak diperlukan lagi, cowok berkacamata tadi pergi melanjutkan langkah entah ke mana.
“Nyariin gue?” tanya Arnan lagi sambil tersenyum kecil.
“Hm ....” Belum juga menjawab, Salsa melihat Galen muncul dari balik pintu kelas dan berjalan melewatinya begitu saja.
“Sori, kemarin gue lagi sibuk banget, jadi nggak bisa ngobrol banyak. Ada apa?”
“Oh, nggak apa-apa, kok, Kak. Cuma mau kenalan,” jawab Salsa sekenanya. Matanya sedari tadi mengikuti arah berlalunya Galen, menangkap sosok itu agar tidak lolos dari pandangan. Dan, Salsa semakin gelisah karena targetnya semakin menjauh.
Arnan tersenyum menatap Salsa yang tampak salah tingkah.
“Aku duluan, ya, Kak.” Salsa buru-buru berlalu menyusul Galen yang hampir menghilang di ujung koridor.
“Eh, tunggu dulu, Sal.”
Salsa pun berhenti melangkah dan menoleh kembali kepada Arnan. Masih sambil tersenyum, cowok itu berjalan menghampiri Salsa sambil merogoh saku celananya.
Arnan membuka aplikasi percakapan di ponselnya, kemudian mengulurkannya kepada Salsa, “Boleh tahu ID LINE lo?”
***
“Terus, lo kasih?”
Salsa tak kuasa menahan senyumnya yang tak mau hilang sejak siang tadi. Sejak ia dan Arnan bertukar ID LINE di sekolah. Ia berguling-guling di kasur malam ini seperti orang gila.
“Eh, curut. Lo cerita nanggung banget. Buruan kasih tahu gue. Lo kasih tahu ID LINE lo ke Kak Arnan?” tanya Nadin di seberang telepon. Nada suaranya sudah sangat penasaran.
“Ya jelas gue kasih. Kita tukeran ID LINE.” Posisi Salsa kini tengkurap. Ia menggigit ujung sarung bantal kepalanya karena gemas sendiri.
“Bagi ke gue, dong.”
“Enak aja. Kak Arnan bukan buat dibagi-bagi.”
“Pelit banget lo. Udah kayak Kak Arnan pacar lo aja!”
“Calon.” Salsa buru-buru mengamini ucapan Nadin.
“Pret! Tukeran sama ID LINE Kak Galen, mau, nggak?” tawar Nadin.
Salsa langsung mengubah posisi menjadi duduk. Seketika ia teringat akan misi yang sedang dijalani.
“Lo punya ID LINE Kak Galen?” tanya Salsa antusias.
“Nggak.”
“Asem!”
“Bagi, dong, Sal. Pelit amat,” rengek Nadin masih tidak menyerah.
“Udah dulu, ya. Kayaknya Kak Arnan nge-chat gue, nih. Dari tadi getar melulu handphone gue.”
“Sombong bener. Palingan juga SMS dari operator.”
“Sampai jumpa besok di sekolah, Nad.” Salsa memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Ia sama sekali tidak menghiraukan Nadin yang masih memanggil-manggil namanya di ujung ponsel.
Benar dugaan Salsa. Ada pesan masuk ke ponselnya. Namun, bukan dari Arnan seperti yang diharapkan, melainkan dari si pengirim pesan misterius.