“Terkadang rasa tertarik bisa muncul dari hal sederhana. Sesederhana melihat caramu tersenyum.”
Kau hadir mengubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
Kegaduhan di koridor menuju kantin bukan hanya terjadi hari ini. Hampir setiap hari Malik dan kawan-kawan selalu menciptakan keributan dengan mengadakan konser dadakan menggunakan alat-alat seadanya.
Satya, satu-satunya orang yang tergabung dalam klub musik menunjukkan kepiawaiannya dalam memetik gitar. Sementara Arul yang bercita-cita menjadi pemain drum terkenal harus puas menciptakan suara dari botol-botol plastik yang dia pegang dengan kedua tangannya. Ethan yang pandai beatbox berhasil membuat pertunjukan semakin menarik. Apalagi ditambah suara merdu Malik yang selalu mampu menarik perhatian kaum hawa yang lewat di hadapan mereka.
Iko menjadi satu-satunya orang yang tidak kebagian peranan penting dalam setiap konser dadakan mereka. Namun, dia yang paling semangat bertepuk tangan dan mengajak setiap orang yang lewat untuk ikut bernyanyi bersama. Bahkan, sesekali dia memanfaatkan keadaan untuk meminta saweran, terutama kepada adik kelas yang lewat.
“Sawerannya, dong,” pinta Iko kepada seorang siswa kelas X yang baru saja lewat.
Dengan takut-takut, siswa itu mengeluarkan selembar uang dari sakunya, lalu buru-buru pergi dari sana.
“Malakin anak orang melulu lo, Ko!” sahut Satya. Jari-jarinya masih memetik senar gitar di pangkuannya.
“Beda, dong. Kalau malak kesannya maksa. Tapi, ini gue nggak maksa. Sukarela yang ngasih aja,” jawab Iko. Sedetik kemudian dia berteriak ke arah siswa yang baru saja pergi setelah memberinya uang. “Woi, gue udah punya banyak Pattimura. Yang gambar lain nggak ada?”
Satya dan yang lain geleng-geleng kepala melihat tingkah Iko.
“Ke kantin, yuk!” seru Arul nyaring. Dia baru saja menghentikan tabuhan botol plastik setelah lagu “Lebih Indah” dari Adera selesai mereka mainkan.
“Yuk, haus nih. Dari tadi teriak-teriak melulu,” sahut Iko sambil menghitung uang yang dia kumpulkan dari hasil sumbangan sukarela orang-orang yang lewat.
“Kalian aja, gue nitip air mineral.” Malik bersandar di tembok, kemudian melepaskan jaketnya karena sedikit kepanasan.
“Gue juga,” sahut Satya, diikuti Ethan.
Setelah ditinggal pergi oleh Iko dan Arul, Malik dan dua temannya menunggu sambil berbincang-bincang.
“Di SMA 1, lo suka ngadain konser dadakan kayak gini juga, Mal?” tanya Satya yang ikut bersandar di tembok.
Malik yang baru tiga bulan pindah ke SMA Gemilang sudah memiliki banyak teman. Pembawaannya yang supel dan mudah sekali bergaul membuat yang lain nyaman berteman dengannya. Sebelum pindah sekolah, nama Malik bahkan sudah sangat terkenal di SMA Gemilang. Siapa yang tidak mengenal Malik dengan reputasi playboy tingkat SMA?
“Kadang-kadang, sih,” jawab Malik. Seketika perhatiannya teralihkan oleh sekumpulan siswi yang baru saja lewat di hadapannya sambil berbincang seru sekali.
“Kalau gue punya kakak cowok, gue pasti jadi adik yang paling beruntung di dunia ini,” kata salah seorang siswi yang paling menarik perhatian Malik. Senyum cewek itu manis sekali dengan sepasang lesung pipit.
“Emang kenapa?” tanya temannya.
“Karena, menurut gue, nggak ada yang paling membahagiakan selain merasa dilindungi oleh kakak cowok.”
“Kasihan yang jadi anak tunggal,” sahut temannya yang lain.
“Kok gue biasa aja punya tiga kakak cowok?”
“Itu namanya lo nggak bersyukur.”
“Habisnya abang gue semuanya resek!”
Malik tidak bisa lagi mendengar dengan jelas percakapan tiga orang siswi itu karena posisi mereka sudah menjauh. Dia tertegun mendengar percakapan tadi, terutama kalimat yang diucapkan cewek berlesung pipit.