“Gue jamin, lo nggak akan nolak ketika gue nembak lo sekali lagi.”
Malik merenung di dalam kamarnya malam ini. Adara Mahestri. Dia mengulang nama itu di kepalanya sambil membayangkan wajah pemilik nama cantik tersebut. Cewek itu benar-benar mengingatkannya pada seseorang.
“Manda merasa jadi adik yang paling beruntung di dunia ini.”
“Kenapa?” tanya Malik, merespons pernyataan dari gadis yang berselisih 2 tahun dari usianya.
Gadis yang baru masuk SMP itu tersenyum sambil memeluk Malik erat. “Karena Manda punya Kak Malik yang selalu jagain Manda dari orang-orang jahat.” Manda membenamkan wajahnya di dada sang kakak.
Malik tersenyum lebar, kemudian membalas pelukan Manda.
Malik menyudahi lamunannya tentang momen sekitar tiga tahun yang lalu itu. Dia beranjak dari kamarnya dan masuk ke kamar sebelah. Dia paling benci masuk ke ruangan ini. Karena mau tak mau, kenangan tentang adik manisnya langsung berkelebat hebat di kepalanya. Membuat perasaannya bergejolak.
Malik memaksa langkah kakinya untuk masuk lebih dalam. Diraihnya frame yang terpajang di sudut meja belajar, kemudian ditatapnya sendu. Dia merindukan gadis berlesung pipit dalam foto itu. Rindu yang teramat dalam.
“Manda, Kakak pasti bisa mengungkap apa yang sebenarnya terjadi.” Malik berkata sambil memandang gadis dalam foto itu.
Malik meletakkan kembali frame itu ke tempat semula. Dia kemudian bergerak, mulai membuka laci-laci meja, lemari, dan benda-benda apa pun yang berada di kamar ini demi mencari sebuah petunjuk.
Dering ponsel di saku celananya menghentikan kegiatannya. Malik meraih ponselnya dan langsung menjawab panggilan telepon dari Aldo—sahabatnya semasa di SMA 1.
“Hai, Mal. Gimana kabar lo?” sapa seseorang dari seberang telepon.
“Seperti yang lo tahu. Nggak sebaik dulu,” jawab Malik tidak bersemangat. Dia yakin Aldo paham yang dia maksud. Aldo adalah satu-satunya orang yang tahu tujuannya pindah sekolah.
“Lo udah tiga bulan pindah sekolah. Udah dapat petunjuk?”
Malik menghela napas kasar. “Belum. Manda terlalu rapi nutupin semuanya. Tapi, gue yakin, cepat atau lambat gue pasti tahu yang sebenarnya terjadi.”
Kemudian hening. Baik Malik maupun Aldo sama-sama tidak bersuara untuk waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya Malik yang lebih dahulu bersuara.
“Ada apa lo telepon gue malem-malem begini?”
“Tim futsal sekolah gue mau kunjungan ke sekolah lo minggu depan.”
“Dalam rangka apa?”
“Pertandingan persahabatan. Lo ikut main, nggak? Nggak asyik nih, kalau gue main ke sekolah lo, tapi lo nggak ikut main.”
“Lihat nanti aja,” jawab Malik, sedang malas membahas hal apa pun.
“Mantan lo banyak yang ikut buat kasih semangat, loh. Sekalian mau ketemu lo juga, kali,” goda Aldo sambil tertawa.
“Sialan!” maki Malik. Akhirnya, dia tak tahan juga untuk tidak tertawa. “Kenapa lo malah bahas mantan?!”
Keduanya berbasa-basi sebentar, kemudian sepakat mengakhiri sambungan telepon dan berjanji akan bertemu minggu depan di sekolah Malik kini, SMA Gemilang.
***
Semua pasang mata sedang asyik menyaksikan tim futsal sekolah berlatih di lapangan, kecuali satu orang, Malik. Dia justru terfokus pada seorang cewek di pinggir lapangan yang begitu menarik baginya.
Ethan menoleh ke arah Malik karena cowok di sebelahnya itu tampak membuang napas berat berkali-kali.
“Kenapa lo?” tanya Ethan kepada Malik.
“Itu pipi makin bolong aja,” sahut Malik tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun.
Ethan mengikuti arah pandangan Malik dan langsung memahami yang dimaksud cowok itu. Ada Dara di sana, sedang asyik menyaksikan seseorang yang tengah berlatih futsal di lapangan. Ethan balik menatap Malik dan menepuk pelan bahu cowok itu. “Jelas aja. Doi lagi lihatin pangerannya latihan futsal.”
Malik langsung menoleh ke arah Ethan. “Pangeran?” tanyanya, belum mengerti.
“Gue udah pernah cerita, kan? Dara udah ada yang ngincer. Tuh orangnya.” Ethan menunjuk cowok yang sedang berlari menggiring bola di lapangan.
Beberapa saat kemudian suara heboh penonton bergemuruh ketika cowok yang ditunjuk Ethan baru saja berhasil mencetak gol.
“Dia yang namanya Gino Pradipta. Kapten tim futsal sekolah kita.” Ethan kembali menjelaskan kepada Malik. “Udah gue bilang, lo nyerah aja kalau mau dapetin Dara. Dia sama Gino itu udah kelihatan banget tertarik satu sama lain. Sering jalan bareng juga. Tinggal tunggu Gino nembak aja, jadian pasti mereka,” lanjut Ethan panjang lebar.
Malik mencerna baik-baik setiap kalimat Ethan barusan. Dia pun menganalisis yang dimaksud Ethan dengan “tertarik satu sama lain”. Dia baru saja menemukan buktinya. Gino yang baru saja mencetak gol, kini melemparkan senyum ke arah Dara di pinggir lapangan. Dan, dibalas cewek itu dengan senyuman lebar serta tatapan kagum.
Malik mulai terpancing keadaan. “Kalau buat narik perhatiannya cuma harus jago main futsal, gue juga bisa!” ucapnya, kemudian melangkah memasuki lapangan dengan sangat percaya diri.
“Eh, Mal, lo mau ke mana?” cegah Ethan percuma. Karena, Malik sudah terlalu jauh dari jangkauannya.
Satya yang sejak tadi hanya diam, langsung merapat pada Ethan. “Malik mau ngapain, tuh?”