Satu minggu kemudian ....
Seorang pasien autis biasanya memiliki konsep waktu yang kuat, begitu juga dengan Muhammad Gibran.
Saat ini, lelaki itu tengah menatap jam di pergelangan tangannya selama beberapa menit sebelum mengangguk puas.
09.30
Tepat satu minggu setelah ia melamar Fiya.
Mengangkat tangannya, Gibran mengetuk pintu rumah Fiya dengan rentang waktu ketukan yang serupa.
Setelah beberapa kali mengetuk, suara manis Fiya terdengar membuat senyum Ibra merekah.
"Tunggu sebentar!"
Ibra mengangguk, masih menatap pintu tertutup di depannya dengan ekspresi penuh harap.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka menampilkan sosok imut Fiya dalam balutan celana katun dan kaos lengan panjang berwarna merah muda. Rambutnya yang setengah basah menggantung bebas di bahu.
"Kak Ibra?"
Pupil coklat madu Fiya menyapu penampilan Ibra dari atas ke bawah, sebelum berhenti di wajahnya yang tampan. Saat ini, Ibra tersenyum lebar dengan tatapan penuh harap yang membuatnya terlihat bak seorang anak meminta permen pada orang tuanya.
Hal itu membuat Fiya tertegun, detak jantungnya tanpa sadar dipercepat saat ia merasa rusa berberlarian di dadanya.
"Fiya, apa jawabanmu?"
Fiya tanpa sadar menelan ludah mendengar pertanyaan Ibra. Suara lelaki itu terdengar lembut dan manis, dengan nuansa kekanakan yang kental dan menyenangkan telinga.
Sementara itu, kebisuan Fiya membuat Ibra merasa cemas dan gelisah. Menggigit bibir bawahnya, Ibra meraih ujung kaos Fiya lalu menarik-nariknya.
"Fiya, kamu jawab!" rengeknya dengan wajah memelas.
Fiya tertegun, lalu penglihatannya jatuh ke wajah Ibra yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kak Ibra, aku ..."
Fiya menelan ludah.
Bagaimana ia bisa menolak Ibra tanpa menyakitinya?
Menggigit bibir bawahnya, Fiya menunduk guna menghindari tatapan Ibra yang murni dan polos.
"Maaf, Kak Ibra. Aku ...."
"Fiya, aku tahu aku mungkin egois. Tapi, aku harap kamu bisa menerima Ibra. Bagi Ibra, kamu adalah jendela dari dunianya ke dunia ini. Bagi Ibra, kamu adalah matahari di dunianya yang gelap. Fiya, maaf. Tapi jika kamu menolak, aku tidak keberatan menjadi orang jahat dan mungikatmu di sampingnya."
Suara rendah dan serak seorang lelaki terdengar di telinganya, membuatnya menatap Ibra saat otaknya memutar sebuah video yang ia lihat beberapa waktu lalu.