Setelah memutuskan untuk menikahi Ibra, Fiya mengunjungi Ayahnya guna meminta restu.
Ya, Fiya tidak tinggal bersama sang Ayah semenjak tahun kelulusannya di sekolah menengah atas. Tepat setelah sang Ayah menikah lagi.
Sebenarnya, Ayah Fiya sudah berulangkali mengajaknya tinggal bersama. Namun karena ia merasa canggung dan aneh, ia menolak. Memilih tinggal di rumah lama mereka.
Rumah sang Ayah terletak di kabupaten lain yang berjarak lebih dari 15 menit perjalanan dari rumahnya. Setelah memarkir sepeda motor di depan rumah sang Ayah, Fiya mengucapkan salam sebelum berjalan masuk.
Di dalam rumah, Ayah dan ibu tirinya tengah menonton TV bersama kedua anak mereka. Hal ini membuatnya merasa rumit. Ia merasa bahagia dan lega karena akhirnya sang Ayah tidak akan tua sendirian, namun juga iri dan tidak rela karena Ayahnya memiliki cinta dan keluarga baru selain Ibunya.
Perasaan ini membuatnya ... eum, sulit bergaul akrab dengan istri sang Ayah yang hanya beberapa tahun lebih tuan darinya.
Fiya menghela napas panjang, menggelengkan kepala guna menepis pemikiran itu. Bagaimanapun ia tidak boleh bertindak egois dan kekanakan. Juga, tinggal sendirian merupakan pilihan yang tidak ingin ia sesali. Jadi, apa gunanya menyalahkan orang lain?
Pikirnya lalu berjalan mendekat, menyalami kedua orang tua dan adik-adiknya sebelum duduk di sisi lain sofa.
Setelah mengobrol berbasa-basi selama beberapa menit, Fiya beranjak dari sofa dan berdiri dengan kepala menunduk.
Jari-jarinya saling bertautan karena kegugupan saat keringat tipis membasahi dahinya.
"Fi, ada apa?" Itu suara Ayahnya.
"Bapak, aku ..." Menarik napas panjang, ia berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Aku ... mau menikah," sambungnya seolah menjatuhkan bom di siang hari yang cerah.
Dia tidak terlalu dekat dengan Ayahnya. Karena itu, setelah menyelesaikan kalimat yang ingin ia sampaikan, ia berdiri mematung sambil menggigit bibir bawahnya dengan kepala menunduk.
"Menikah? Dengan siapa? Apa kamu punya pacar? Kenapa ndak bilang sama Bapak kalau kamu punya pacar? Fi, apa laki-laki baik? Bagaimana agamanya? Bagaimana keluarganya? Fi, pernikahan bukan hal main-main."
Fiya menunggu sang Ayah menyelesaikan pertanyaannya sebelum menjelaskan. "Pak, aku ndak pacaran tapi lelaki itu pasti baik karena Bapak mengenal keluarganya."
"Siapa?"
"Ibra," jawabnya membuat sang Ayah bereaksi keras dan menolak memberikan restu.
"Bapak ndak setuju!"
"Pak ...."
"Fi, kamu tau sendiri orang seperti apa Ibra itu! Nduk, kamu ndak bisa nyerahin hidupmu ke lelaki yang bahkan ndak bisa bertanggungjawab ke dirinya sendiri! Kamu -"
"Bapak! Fiya mau nikah sama kak Ibra!"
"Ndak! Kalau kamu mau nikah, kamu bisa nikah sama mas Abdul! Dia anak sholeh, taat beragama, dan bertanggungjawab. Bapak lebih yakin menikahkan kamu sama Abdul ketimbang Ibra."
Penolakan keras sang Ayah membuat jiwa pemberontak di dalam diri Fiya bergejolak.
Kenapa?