Adzriel menatap ketiga orang di ruang tamu secara bergantian. Setelah melihat raut kebingungan di wajah mereka, ia menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Ibra mengatakan dia akan menikah." Yang membuat Meili memasang wajah terkejut, Huda membeku, sementara wanita muda di sampingnya menutup mulut dengan telapak tangan.
"Benarkah? Ya Allah! Ini kabar besar dan menyenangkan!" pekiknya lalu ia menatap lelaki di sampingnya. "Suamiku! Kita harus menyiapkan mas kawin untuk menantu kita!" ia berseru,mengabaikan gambar sebagai Ibu yang lembut dan bijaksana.
"...." Huda terdiam, masih berusaha memproses kabar besar yang putranya sampaikan sementara Meili mengalihkan pandangan ke putrinya.
"Ana, kamu harus menemani Mama membeli cincin pernikahan mereka. Oke?"
Lalu Meili mulai bergumam panik pada dirinya sendiri.
"Ya Allah! Apa yang harus aku lakukan? Kita belum menyiapkan apapun untuk pernikahan putra kita!"
Adzriel mendengus pelan mendengar gerutuan Ibunya. Mengangkat cangkir kopi di atas meja, Riel menegur. "Ma, kita bahkan belum tau kapan mereka menikah. Jadi tolong tenang sedikit,oke?"
Sementara itu Meili yang ditegur putranya sama sekali tidak tersinggung, ia hanya menepuk dahinya dan mengeluh. "Kamu benar. Ah, sepertinya Mama sudah terlalu tua dan melupakan hal-hal penting seperti ini!" Lalu menggoncang lengan suaminya. "Suamiku, cepat kosongkan jadwalmu dan pergi ke rumah calon besan! Kita harus mendiskusikan mengenai pernikahan anak-anak dengan mereka!"
Huda tertegun mendengar omelan sang Istri. Tubuhnya membeku ketika ia mengingat sesuatu. "Tunggu, apa orang tua Fiya menyetujui pernikahan ini?"
"...."
"Maksudku, anak kita ...." Ayah Ibra menggaruk leher belakangnya dengan bingung, sementara antusiasme Meili memudar.
Meskipun Ayah Ibra tidak menyelesaikan kalimatnya, namun mereka tahu jelas apa yang ia maksud. Bagaimanapun putra mereka berbeda dari yang lainnya.
Sementara suasana di ruang tamu stagnan, suara langkah kaki membuat ketiganya kompak mendongak ke sumber suara.
Di sana, mereka bisa melihat Ibra berjalan langkah demi langkah menuruni tangga, membuat keempat orang di ruang tamu menelan ludah gugup.
Ada apa?
Apa Fiya berubah pikiran, dan menolak menikahi Ibra?
Pemikiran seperti itu membuat wajah cantik Meili memucat. Keringat dingin membasahi telapak tangannya yang mengepal, sementara ia menatap putra bungsunya dengan rasa bersalah dan iba.
Jika bukan karena dia, putranya tidak akan menderita seperti ini, bukan?
Putranya sangat tampan dan manis, jadi kenapa ia harus mengkhawatirkan pernikahannya?
Meili mencoba menenangkan diri, meraih telapak tangan suaminya yang besar dan hangat.
Sementara itu, Huda yang merasakan kegugupan istrinya menunduk, menatap tangan Meili di atas tangannya dan membalas ramasan tangan istrinya.
"Sayang, tenangkan dirimu." Ia menunduk, berbisik tepat di depan telinga Meili.
Meili mengangguk kaku tanpa mengalihkan pandangan dari Ibra yang berjalan menuruni tangga.
Satu langkah,
Dua langkah,
Tiga langkah, dan langkah-langkah lain terlewati sampai Ibra mengambil langkah terakhir, mendongak dan menatap ke arah ruang tamu dengan senyum tipis.
"Besok di KUA jam 09.00." Ia menjatuhkan bom lain, membuat Adzriel yang selalu tenang tertegun di tempat.
"Apa? Besok? Apa Fiya dan orang tuanya setuju?" Meili yang terlalu bersemangat tanpa sadar meningkatkan volume bicaranya.
"Sttt, tenang. Jangan menakuti Ibra," Huda mengingatkan, menepuk pelan tangan Istrinya.
Pengingat Huda membuat Meili tertegun, menatap Ibra dengan wajah khawatir. Ya, ia khawatir ia berbicara terlalu keras dan menakuti putranya yang jarang berbicara. Selama ini, keluarga mereka memiliki kebiasaan untuk menurunkan suaranya ketika berbicara dengan Ibra.
Di sisi lain, Ibra mengabaikan keterkejutan keluarganya, menyapukan pandangan ke empat orang di ruang tamu.