"Mbak Fiya! Kamu mau nikah kok ndak bilang-bilang? Yaya kan mau jadi pengiring pengantin!" suara imut dan cerah itu terdengar mengiringi seorang gadis kecil berusia 10-11 tahun yang berlari menerjang ke pelukan Fiya.
Fiya tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan untuk menangkap Adik dari Ibu yang sama yang berlari ke pelukannya.
Tetapi, sebelum gadis kecil itu bisa memeluk Fiya, ia dihentikan oleh Ana yang menyeretnya berdiri di samping.
"Niya, jangan memeluk Fiya. Dia istri Adikku!"
Ana menatap Fiya dan Ibra dengan senyum menggoda, membuat Fiya tersipu malu sementara Ibra? Oh, lelaki itu tidak memperhatikan sedikitpun dan fokus menatap wajah istrinya.
Ya. Bagi Ibra, Fiya sudah menjadi istrinya.
"Bapak mana?" tanya Fiya yang tidak melihat Ayahnya setelah sekian lama.
"Di parkiran. Sebentar lagi juga datang."
"Oh, oke. Kamu—"
"Ayah!" Ibra yang pertama kali menyadari Suyono berjalan mendekat menyapa, membuat kerumunan di depan kantor KUA menoleh mengikuti arah penglihatan Ibra.
Suyono mengangguk ringan, enggan menanggapi sapaan calon 'menantunya.'
Ke telah kedua keluarga itu berada dalam jarak yang cukup dekat, Suyono membalas sapaan calon besannya sebelum meneliti penampilan Ibra.
Anak ini ....
Suyono bisa dianggap menyaksikan pertumbuhan Ibra sejak kecil, dan memiliki sedikit kasih sayang padanya. Tapi, orang-orang selalu seperti ini. Sebagai penonton, mereka bisa menunjukkan simpati dan toleransi yang tinggi, mereka bahkan akan mengambil inisiatif untuk menolong. Bahkan mereka juga berharap dan mendoakannya agar bertemu dengan wanita yang bisa menerima kondisinya di masa depan.
Tapi ... Ketika anak kecil yang lemah dan tak berdaya, menjadi calon suami putrinya? Dia benar-benar tidak tahu mentalitas seperti apa yang harus ia gunakan dalam menghadapi Ibra.
Seperti ketika membaca novel atau menonton drama. Seseorang akan mendorong pemimpin wanita untuk bersama pemimpin pria terlepas dari kondisi apapun. Bahkan, ketika pemimpin pria menyiksa dan menyakitinya berulang kali, orang-orang hanya akan mengatakan sabar dan serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Tapi, bagaiamana jika hal itu terjadi padamu? Apa kamu bersedia bersabar, dan menunggu 'pemimpin utama pria' berubah menjadi lebih baik?
Tidak.
Banyak orang bermimpi menjadi tokoh utama dalam drama atau novel, tetapi enggan menjalani penderitaannya.
Setelah kedua keluarga itu mengobrol sebentar, mereka akhirnya berjalan masuki kantor KUA.
Mempertimbangkan kondisi Ibra yang istimewa, Riel telah 'berpesan' pada pegawai KUA agar tidak melayani calon pengantin lain, dan membersihkan ruangan. Karena itu ketika kedua keluarga memasuki KUA, mereka hanya melihat beberapa orang 'penting'.
Pernikahan ini hanya di hadiri oleh anggota keluarga kedua belah pihak, dan teman kedua mempelai yang bertugas sebagai saksi pernikahan.
Duduk di depan penghulu yang hanya dibatasi meja, Fiya tidak merasakan apa itu kegugupan pernikahan. Ia hanya memiliki ekspresi tenang dengan senyum ringan.
Setelah mendengarkan khotbah nikah, tiba saatnya bagi pengantin pria untuk mengucapkan ijab qabul dengan panduan penghulu atau wali nikah.
Ketika bapak penghulu itu mengulurkan tangan, Ibra yang seharusnya menjabat tangan pak penghulu memiliki ekspresi kusut di wajahnya.
Dia tidak suka bersentuhan fisik dengan orang lain, tapi ....
Dia ingin menikah dengan Fiya, dan menjadi suaminya.
Alis Ibra berkerut erat saat ia menatap tangan pak penghulu yang terulur dengan ekspresi cemas.
Sementara itu, Meilin menggigit bibirnya dengan cemas, meremas tangan suaminya. "Suami, bagaimana jika —"
"Stttt." Huda menempelkan jari telunjuknya di depan bibir Meili guna menghentikan wanita itu berbicara yang tidak tidak.