Kecemasan dan ketidaknyamanan yang Ibra rasakan membuat dunia lelaki itu diselimuti awan gelap. Membuatnya nyaris kehilangan kendali ketika ia merasa seseorang meremas telapak tangannya.
Menunduk, ia melihat tangan seseorang menggenggam tangannya, membuatnya mengerutkan kening selama beberapa detik sebelum bibirnya tanpa sadar melengkung membentuk senyum tipis.
Ibra mendongak, menatap wajah akrab yang tersenyum padanya dengan ekspresi meyakinkan.
Benar, dia akan menikahi Fiya.
Ibra mengangguk pada ingatannya, lalu meluruskan pandangan, menatap penghulu di hadapannya dengan wajah penuh tekad seolah ia berada dalam misi penting menyelamatkan dunia.
Fiya ada di sini, aku tidak takut!
Ibra berpikir, lalu mempererat genggaman tangan mereka dan menarik napas panjang sambil memejamkan mata.
Fiya disini, aku tidak takut!
Ibra mengulang kalimat itu di dalam hatinya selama beberapa kali sebelum membuka mata lalu melantunkan kalimat ijab dengan lancar.
"S-saya Terima nikah dan kawinnya Fiya Aulia binti Suyono dengan maskawinnya yang tersebut dibayar TUNAI."
"Saksi, SAH?"
"Sah." Kedua belah pihak keluarga, dan saksi pernikahan kompak menjawab.
Setelah petugas Penghulu melantunkan doa-doa pernikahan, Fiya mencium tangan Ibra mengikuti anggukan Pak penghulu sementara lelaki itu balas mencium keningnya. Hal ini menandakan peresmian pernikahan mereka secara Agama.
Sedangkan pengakuan dari negara? Oh, untuk itulah sepasang pengantin baru itu menandatangi sejumlah berkas dan buku nikah sebelum berfoto sebagai kenang-kenangan.
Tanpa terasa prosesi pernikahan berlalu begitu saja. Tanpa kesan dan kemewahan apapun. Hanya dihadiri anggota keluarga terdekat dan dua saksi yang membuat Fiya entah mengapa merasa sedikit kusut di dalam.
Apa dia benar-benar menikah?
Sungguh, ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan sesederhana dan sesepi ini. Dalam bayangannya, pernikahannya haruslah dihadiri banyak orang dan menjalani prosesi adat Jawa secara lengkap.
Tapi ....
Fiya melirik Ibra.
Dia tidak bisa menjadi egois, dan mengabaikan perasaan Ibra, bukan?
Fiya menghela napas.
-----
"Istri!"
Setelah keluar dari kantor KUA, Ibra terus menerus memanggil Fiya 'istri' dengan senyum konyol dan mata berbinar. Hal ini membuat Fiya menggeleng samar. Daripada menikahi seorang suami, kenapa ia lebih merasa memungut seorang anak?
Fiya berpikir, mengulurkan tangan untuk menepuk kepala Ibra yang bersandar di bahunya dan menegur. "Bangun, kamu berat!" Yang membuat Ibra buru-buru berdiri tegak dengan kepala menunduk.
"Maaf ...."
"Tidak apa-apa. Sekarang kita harus pulang. Mama, Papa, dan Kakak sudah menunggu di mobil," buruk Fiya membuat Ibra mengangguk polos, menyeret tangan Fiya ke tempat parkir.
Sementara itu di tempat parkir, Ayah Fiya dan orang tua Ibra tengah mengobrol.
"Besan, aku tahu kamu merasa tidak nyaman di hatimu. Tapi tolong beri Ibra kesempatan dan kami tidak akan memperlakukan Fiya dengan buruk. Bagaimanapun aku sudah mengawasinya sejak kecil dan menganggapnya putriku sendiri. Besan, jika suatu hari nanti Fiya lelah dengan pernikahan ini, aku tidak akan melarang dia meninggalkan putraku. Tapi ... tolong beri dia satu kesempatan?" Meili membujuk dengan rendah hati.
Meskipun Suyono tidak mengucapkan apapun, ia tahu lelaki itu merasa tidak nyaman di dalam hatinya. Bagaimanapun putrinya menikahi seorang idiot di mata masyarakat, yang bahkan ia sendiri akan merasa berat menikahkan putrinya pada orang seperti itu.