"Rausah mbelani Bapakmu terus, wong ra perduli karo kowe lapo mbok belani terus? Rausah wedi nemen-nemen. Jal, nak koee ora wedinan og rabakal di bojo ke karo wong gendeng!"[1]
"Mbah!"
Sementara kedua belah pihak sibuk berdebat, Ibra yang berdiri diam menundukkan kepala dengan tangan terkepal erat di sisi kanan-kiri tubuh. Keringat tipis membasahi dahinya saat ia berjuang melawan suara-suara yang mengganggunya.
Beberapa menit kemudian ketika suara pertengkaran Fiya dan keluarganya masih terdengar, ia tiba-tiba mendengar suara keras dari lampu di langit-langit yang bercampur dengan suara pertengkaran. Suara itu keras dan mengganggu, seperti petir dan badai menyambar dunianya yang diselimuti awan gelap. Membuatnya merasa sakit menusuk untuk sementara waktu.
Adegan semacam ini tidak asing baginya yang sering mengalami hal seperti ini. Suara keras dan mengganggu yang entah datang darimana asalnya.
Jika hal ini terjadi sebelumnya, ia akan berteriak meminta mereka diam dan mematikan lampu sehingga suara menjengkelkan itu akan hilang. Tapi kali ini, dia tidak bisa melakukan hal itu dan hanya bisa menahannya.
Ini pertemuan pertamanya dengan keluarga Fiya setelah mereka menikah. Ia tidak boleh melakukan kesalahan.
Dia tahu apa arti tatapan aneh, ragu, dan tidak suka orang-orang disekitarnya.
Sebelumnya ia tidak perduli, tapi kali ini berbeda. Keluarganya berulangkali berpesan agar ia menjaga sikap dan tampil baik di pertemuan ini. Tidak boleh membuat keluarga Fiya menganggapnya aneh dan semakin membencinya.
Karena itu ia mencoba bertahan sebisa mungkin, mencoba mengabaikan suara-suara mengganggu itu. Tetapi suara menusuk itu menjadi semakin keras dan sering. Itu seperti seseorang mencoba mengebor kepalanya dengan gila, membuatnya merasakan ketidaknyamanan. Sangat tidak nyaman sampai ia merasa tidak bisa berpikir lagi. Darahnya terasa mendidih dan ingin menghancurkan sesuatu.
Tapi ....
Tidak!
Dia tidak bisa sakit saat ini dan membuat keluarga Fiya membencinya karena aneh.
Tidak ....
Dia tidak bisa ...
Ibra menggigit pipi bagian dalamnya sampai ia merasa kebas dan rasa besi memenuhi mulutnya. Kepalanya menunduk dalam, mencoba menghalangi seseorang melihat wajahnya yang sakit dan aneh.
Tapi, ia lupa ia tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya yang bergetar, menggigil kedinginan seolah ia mengenakan pakaian musim panas di tengah musim dingin yang bersalju.
Sementara itu Fiya yang berdiri di sampingnya merasakan anomali suaminya. Tubuh lalaki itu bergetar keras sementara kemeja putih yang ia kenakan menempel erat di tubuhnya yang berkeringat.
"Kak Ibra?" Fiya berbisik, menepuk lengan Ibra.
Bang!
Ibra merasa seolah petir menyambar, membuatnya mundur secara reflek, dan memalingkan wajah. Mencegah Fiya menemukan keanehannya.
Namun, langkah ini membuatnya secara tidak sadar menyenggol kursi di belakangnya. Membuat kursi itu terbalik dengan suara keras. Keringat mengalir deras di punggungnya membuatnya terlihat seperti baru saja tersiram air hujan.
Gerakan ini membuat keluarga Fiya menatap Ibra dengan penasaran dan aneh, sementara orang tua Ibra menatapnya dengan cemas.
Ekspresi ini ....
Ketika mereka melihat wajah Ibra, mereka tahu ia berada diambang kehancuran.
"Kak Ibra! Ada apa?" Meskipun ia tahu Ibra memiliki keistimewaan, ia tidak pernah menemui saat lelaki itu jatuh sakit. Jadi, wajar baginya untuk lambat dalam menyikapi.