"F-fiya .... "
"Kak Ibra." Fiya menggeleng, memandang Ibra dengan senyum lembut. "Kamu mendorongku dan itu menyakitiku, tapi ... ketika kamu mengabaikan dan menolak sentuhanku. Itu jauh lebih menyakitkan."
Ibra memandang Fiya dengan raut wajah kebingungan.
"Jangan mengabaikanku dan bicaralah padaku. Apa kamu mengerti?"
"A-aku ... aku tidak sengaja mendorongmu. A-aku ...."
Fiya menghela napas. "Aku tahu." Lalu berdiri. "Sekarang, pulang dan beristirahat? Kamu lelah kan?" sambungnya membuat Ibra tiba-tiba berdiri dan memeluknya erat.
"Jangan ... j-jangan pergi. A-aku tidak sengaja, " Ibra merintih dengan suara teredam saat ia membenamkan wajahnya di bahu Fiya, membuat wanita itu merasakan cairan hangat menembus pakaian yang ia kenakan.
Hal ini membuat Fiya tertegun, lalu secara reflek mendorong Ibra menjauh.
"Kak Ibra, kamu -"
"J-jangan pergi. A-aku janji tidak sakit lagi, aku ... aku tidak akan sakit lagi. J-jangan pergi. Tolong ...." Ibra merintih. Wajahnya yang tampan dan menggemaskan di penuhi air mata.
Tanggapan Ibra membuat Fiya tertegun di tempat.
Kenapa Ibra selalu berpikir ia akan meninggalkannya?
Fiya menghela napas, berjalan lebih dekat sebelum berjinjit, menangkup wajah Ibra dengan kedua tangan.
"Aku tidak akan pergi. Jangan takut," ia menenangkan.
Ibu jarinya bergerak menghapus air mata di wajah Ibra.
"F-fi ...."
Fiya mengangguk. "En."
"Fiya ...."
"En, ada apa?"
Setelah pertanyaan itu jatuh, Fiya nyaris mengalami serangan jantung karena terkejut ketika Ibra memeluknya erat dengan wajah terbenam di perpotongan leher.
"F-fi, j-jangan pergi. A-aku ... aku janji tidak akan sakit lagi. "Ibra memohon. Lalu, ia bisa merasakan tubuh lelaki itu gemetar ketakutan, sementara lengan di pinggangnya di pererat.
"Aku tidak akan pergi. Jangan takut, " Fiya menenangkan, membalas pelukan Ibra sambil menepuk punggungnya dengan satu tangan.
Setelah sang suami tenang, Fiya melepas pelukan mereka sebelum mengangkat tangannya untuk menghapus air mata Ibra.
"Kita pulang ke Rumah, oke?"
Pertanyaan Fiya membuat Ibra tertegun selama beberapa detik sebelum menatapnya dengan mata berbinar.
"Kita?"
Fiya mengangguk, menautkan jari-jari mereka. "Aku istrimu."
Yang membuat senyum di wajah Ibra semakin cerah saat ia menatapnya dengan konyol. Seperti anak kucing kecil yang mendapat mainan baru.
Hati Fiya tanpa sadar melembut, menepuk pundak Ibra.
"Ayo temui Mama dan Papa!"
Ibra mengangguk, lalu dengan patuh mengikuti Fiya menyapa orang tuanya.
"Fi, ayo pulang. Bapak punya sesuatu yang harus Bapak bicarakan!"
"Pak, tolong ...." Ia menatap sang Ayah dengan pandangan memohon, membuat Suyono hanya bisa menghela napas dan mengangguk.
"Baik, ini pilihanmu sendiri. Bapak harap kamu tidak menyesal." Sebenarnya setelah ia melihat hal-hal malam ini, dia benar-benar ingin menyeret putrinya ke kantor pengadilan agama. Tapi jika Fiya bersikeras, apa yang bisa ia lakukan?
Selanjutnya Ayah Fiya berpamitan dengan wajah dingin.
*****
Setelah menempuh perjalanan panjang, Fiya dan Ibra langsung kembali ke kamar mereka di lantai dua.
"M-maaf," Ibra lagi-lagi meminta maaf dengan ekspresi bersalah sambil memegang tangan Fiya yang terluka dengan berhati-hati.
Fiya mengangguk. "En."