"Ah? Kembalikan? Apa?" tanya nya dengan bingung, sambil memandang wajah tampan sang suami yang berkerut.
Menunjuk satu tangan Fiya yang tersembunyi di belakang tubuhnya, Ibra menjawab. "Rubrik ku!" Dengan suara kekanakan yang membuat senyum Fiya melembut.
Mengangguk, ia menyerahkan rubrik di tangannya ke pada Ibra.
"Fiya ... rubrik ku .... " rengek Ibra ketika Fiya menggodanya dengan mengangkat rubrik di tangannya, ketika ia akan mencapai rubrik itu.
Wajah menyedihkan sang Suami membuat Fiya tidak bisa menahan tawanya.
"Kak Ibra, ajari aku bermain rubrik, oke?" ucapnya setelah menghentikan tawa.
Ibra mengangguk antusias. "Oke!" ia menjawab.
"Pak Di, kita mampir ke restoran terdekat dulu!"
Pak Di mengangguk, melirik keduanya yang tengah memainkan rubrik dari kaca mobil, lalu menghela napas lega.
Alhamdulillah.
Sepertinya Nona muda ini benar-benar memperdulikan tuan muda kedua, dan tuan muda kedua juga sangat menyukai dan mendengarkan nasehat Nona muda!
Pikir Pak Di sambil tersenyum lega.
Ah, ini benar-benar hal baik, dan ia harus memberitahu Nyonya dan tuan.
Batin Pak Di, lalu menghentikan mobil di halaman parkir suatu restoran.
"Tuan, Nona. Kita sampai di sini!"
Fiya mengangguk. Lalu menggandeng tangan Ibra memasuki Restoran, sementara Pak Di meraih ponselnya di dasbor mobil dan mengirim 'pesan' pada orang tua Ibra.
Karena itu, ketika Fiya dan Ibra masih menikmati makan siangnya, anggota keluarga Ibra yang lain sudah mengetahui isi percakapan yang tadi mereka lakukan.
Setelah makan siang, Fiya dan Ibra berjalan menuju pusat perbelanjaan yang terletak di dekat restoran.
Keduanya berjalan menyusuri trotoar yang ramai sambil bergandengan tangan.
"Kak Ibra! Apa kamu tidak suka makanan di restoran tadi?" Ia bertanya sambil menatap wajah samping sang suami.
Ibra mengangguk polos. "Tidak suka!" ia menjawab jujur dengan kening berkerut dan bibir mengerucut.
"Kenapa?"
"Mereka memasak terlalu matang. Warna, serat, dan tingkat kematangannya tidak seperti Mbok Inah," ucap Ibra sambil menatap nya penuh keluhan.
"...." Hening. Fiya terdiam akan jawaban yang Ibra berikan.
Meskipun selama ini ia tahu bahwa Ibra selalu pemilih dalam makanannya, ia tidak pernah menyangka jika ia se pemilih ini.
Sementara itu, Ibra yang melihat Fiya diam tanpa menjawab mulai merasa cemas. Lalu ia menarik ujung baju Fiya yang membuat wanita itu tersentak dari lamunan.
"Ada apa?"
"Kamu marah?"
Fiya menggeleng. "Tidak," jawabnya.
"Kamu ... kamu tidak marah?"
Fiya mengangguk. "Aku benar-benar tidak marah," jawabnya sambil meneliti wajah Ibra. "Ada apa?" tanya nya melanjutkan.
"A- aku ... I- istri, jangan makan di sana lagi ...." Ia merengek, menatap Fiya dengan matanya yang indah dan polos.