Ketika keduanya sampai di pintu masuk pusat perbelanjaan, Fiya menarik tangan Ibra ke dalam genggamannya. Hal ini membuat Ibra yang mengerutkan keningnya menoleh.
"...." Ia diam, hanya menatap Fiya dengan wajah polos.
Menghela napas panjang, Fiya menjelaskan. "Kak Ibra, tolong katakan padaku kalau kamu merasa tidak nyaman, oke?"
Ibra terdiam selama beberapa detik, lalu mengangguk sambil mengerutkan dahi.
"Kenapa? Apa kamu merasa tidak nyaman?"
Ibra menunduk, berusaha menebak suasana hati sang Istri sebelum mengangguk kaku.
"Kenapa kamu merasa tidak nyaman?" ia bertanya, sementara Ibra menggigit bibir bawahnya. Merasa gelisah dan ketakutan, ketika ia dengan hati-hati melirik sang Istri.
"Bising ... tidak nyaman." Ibra menjawab, lalu menarik ujung kemeja yang Fiya kenakan.
"Ada apa? Apa kamu ingin pulang?"
Ibra menggeleng, menggigit bawahnya. "A-aku ... j-jangan m-marah. A-aku hanya t-tidak nyaman, a-aku ... b-bisa menahan, j-jangan anggap aku me-merepotkan, " cicit Ibra berbisik. Suaranya yang lembut dan murni sedikit bergetar.
Dia seorang autis, dia tidak bisa menebak suasana hati seseorang dari ekspresi wajah mereka. Dia juga tidak suka bersentuhan fisik dengan orang lain maupun berada di keramaian. Dia sangat bodoh dan merepotkan. Orang tuanya juga tidak menginginkannya dan mengusirnya ke rumah Nenek.
Tapi itu tidak masalah. Nenek sangat baik dan mengajarinya banyak hal yang tidak ia tahu. Nenek menasihatinya agar bersikap baik dan patuh, tidak boleh melukai anak-anak nakal yang mengejeknya. Nenek juga mengatakan bahwa dia akan menjadi lebih baik, dan menikahi seorang gadis yang ia cintai ketika ia dewasa.
Nenek baik dalam segala hal. Masakannya sangat enak dan ada Fiya di sana.
Tapi ... bagaimana jika Fiya juga merasa dia terlalu merepotkan dan meninggalkannya? Apa yang harus dia lakukan?
Semakin Ibra berpikir, semakin panik ia menjadi.
Mengeratkan genggamannya di ujung kemeja Fiya, Ibra mengulangi dengan suara bergetar. "F- Fiya, a-aku ... a-aku baik-baik saja, a-aku ... j-jangan menganggapku merepotkan, a-aku ... a-aku tidak merepotkan," ujar Ibra memohon, suaranya yang lemah dan wajahnya yang pucat membuat orang-orang yang melewati pintu masuk mall memandang mereka dengan aneh.
Sikap Ibra dan pandangan orang di sekelilingnya membuatnya merasa kesal sekaligus tertekan.
Sial.
Kenapa dia selalu merasa aku ingin meninggalkan nya? Kenapa Kak Ibra selalu berperilaku kekanak-kanakan dan merengek tanpa melihat tempat? Apa dia tidak bisa mempercayainya sekali saja? Dia sudah menikahinya, dan tidak berniat meninggalkannya apapun yang terjadi. Kenapa dia tidak mengerti hal sesederhana itu?
Kerutan di wajah sang Istri menyebabkan Ibra semakin ketakutan. Jari-jarinya yang kurus yang pucat dipererat, ketika ia menggigit bibirnya dengan gugup.
Apa Fiya marah?
Meskipun ia tidak bisa memahami emosi kecil di wajah seseorang, ia telah melihat banyak film dan buku yang menunjukkan berbagai emosi manusia. Jadi, di bawah bimbingan Paman Ji, dia secara kasar bisa mengerti beberapa emosi manusia.
"F- Fiya, j-jangan marah. A-aku ...."
"Diam!" Fiya menyela, suaranya yang sedikit keras dan kasar menyebabkan pengunjung mall menatap mereka, sementara Ibra meneteskan air mata.
Fiya membentaknya?
Apa Fiya kesal dan marah padanya?
Apa Fiya akan meninggalkannya?