Ibu Susi, guru bahasa Indonesia, masih berapi-api menerangkan soal karakteristik novel sejarah di depan kelas seakan jam mengajarnya baru saja dimulai. Padahal lima belas menit lagi bel akan berbunyi sebagai penanda istirahat jam pertama. Bayangan akan hebohnya suasana Valentine’s Day ditambah acara promposal nanti sudah memenuhi pikiranku. Dipastikan akan ada banyak murid yang memanfaatkan aura keromantisan hari kasih sayang ini untuk meminta seseorang menjadi prom date mereka.
Sekarang aku tidak berharap banyak soal promposal itu. Aku lebih fokus memantapkan hati untuk mengirimi Ben surat promposal. Oh, dan soal jumlah bunga mawar yang akan kudapat nanti. Aku harap akan ada beberapa anak cowok lagi yang memberiku bunga supaya aku bisa melampaui pencapaian Mia.
Aku mengembuskan napas pelan. Sebal banget kalau harus sampai berkompetisi dengan Mia, terlebih soal banyak-banyakan dapat bunga dari cowok. Norak. Dia kan teman baikku dan aku tidak mau ada rasa persaingan di antara kami. Yah, mungkin cuma aku yang ribet sendirian soal ini. Seharusnya aku bisa secuek Mia. Berapa banyak cowok yang kasih bunga di hari Valentine’s Day itu kan cuma seru-seruan saja. Nothing serious about it, right? Tapi aku sulit mengenyahkan pikiran itu. Aku tersiksa.
Suara ketukan di pintu menghentikan penjelasan Ibu Susi. Otomatis semua pasang mata tertuju ke pintu. Namun siapa yang berdiri di balik pintu itulah yang paling mengejutkan seisi kelas. Karena dia adalah…Adam! Adam Faresta yang aneh dan culun itu!
Bisik-bisik dan tawa samar para murid terdengar di udara. Emil mendorong-dorong punggung kursiku dengan heboh. Aku mendelik jengkel padanya.
“Ya ampun, Ly! Jangan-jangan benar si Adam teh nyariin kamu!” pekik Emil.
“Oh my God!” Kudengar suara Nava memekik di depanku.
Aku bersiap membantah Emil ketika Ibu Susi memanggil namaku.
“Lily!” serunya tegas. “Adam cari kamu.”
Napasku seketika terhenti dan tubuhku terasa kaku. Mia menatapku dengan kening berkerut sementara Nava menoleh padaku dengan mata terbelalak. Tidak. Ramalan Emil tidak mungkin terjadi.
“Ayo, cepat!” seru Bu Susi, tak sabar.
“I-iya, Bu.”
Aku berdiri gelisah. Bibir dan tenggorokanku mendadak terasa kering. Dari ekor mata kulihat teman-teman sekelas saling bertanya penasaran. Sementara itu di luar sana, Adam berdiri dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya terbenam di saku celana.
Dasar bego! Ngapain sih nyari-nyari aku segala?!
“Jangan lama-lama,” ujar Ibu Susi ketika aku sampai di ambang pintu.
Aku mengangguk dan beliau pun menutup pintu rapat. Thank God. Setidaknya teman sekelasku tidak bisa melihatku dan Adam. Sayangnya itu tak berlangsung lama. Aku melihat seseorang menjulurkan kepala dari jendela kelas sebelah dan terang-terangan mengintipku. Namanya Ana. Dia tertawa meledek saat aku menoleh. Dia bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun meski sudah melanggar privasiku. Dasar nyebelin! Kemana sih gurunya?
Aku bergerak menjauh dari Ana dan Adam mengikutiku tanpa diminta. Aku tidak tahu apa Ana masih bisa menguping, tapi sudahlah. Aku cuma ingin semua ini segera berakhir.