“Ih bentar atuh. Kita lihat promposalnya si Intan dulu!” rengek Emil sambil menarik lenganku yang digamitnya. “Keren ih, ya ampun! Wanian oge (Berani juga) ih si Intan.” Emil terkagum-kagum. Dia benar-benar tersihir oleh tarian energik Intan, yang merupakan mantan ketua tim cheerleader. Bersama keempat temannya, Intan melakukan aksi promposalnya di tengah lapangan basket. Banyak murid yang menonton aksinya. Tariannya ringan dan tidak ada aksi lompat-melompat yang ekstrem karena mereka masih menggunakan seragam sekolah. Tapi gerakannya begitu lincah dan kompak. Entakkan kaki dan tepukan tangan yang menggebu terasa menggema di dadaku.
Intan tentu bukan satu-satunya murid yang membuat aksi promposal. Dari tempatku berdiri sekarang, bisa kupastikan tak ada sudut sekolah yang terbebas dari hebohnya aksi promposal. Teriakan, nyanyian, dan tepukan tangan dari segala arah itu membuat telingaku pekak. Seksi dokumentasi buku tahunan sekolah pun tampak begitu sibuk karena harus berpindah dari aksi promposal satu ke aksi promposal yang lain untuk mengabadikan seluruh momen tersebut.
Seringnya pihak cowoklah yang mengajukan promposal. Rata-rata mereka melakukan aksi promposal menggunakan media poster dengan berbagai kata-kata unik nan gombal, atau seikat bunga, atau sebuah lagu yang diparodikan, atau boneka besar yang menggemaskan. Mungkin Intan satu-satunya cewek yang berani terang-terangan mengajukan promposal pada cowok incarannya. Aku tentu tidak masuk kategori itu karena aku melakukannya sembunyi-sembunyi. Dan ditolak pula. Duh! Tapi kalau disuruh memilih, aku ingin cowoklah yang mengajukan promposal padaku.
“Terima! Terima! Terima!” Emil dan murid-murid lain di sekitarku berteriak sambil bertepuk tangan, memaksa Edwin, cowok yang disasar Intan, agar menerima promposalnya. Teman-temanku yang lain pun tak kalah antusiasnya ingin mengetahui jawaban Edwin, yang setelah ditarik dan didorong ke tengah lapangan oleh teman-teman cowoknya, kini berdiri berhadapan dengan Intan. Wajah mereka sama-sama merona. Norak banget!
Aku diam bersedekap dan mengalihkan pandanganku ke langit yang bertambah mendung. Dia satu-satunya di dunia ini yang paling mengerti perasaanku sekarang. Bahkan Ben yang berdiri tak jauh di sebelahku tersenyum lebar melihat Intan dan Edwin.
“Udah yuk, ke kantin!” ujarku jengkel.
“Ya ampun, bentar atuh. Aku pengin tahu jawaban si Edwin,” rengek Emil lagi.
“Ya, sana. Aku duluan, kalau gitu,” dengkusku dan berbalik meninggalkan lapangan, bertepatan dengan sorak-sorai murid di sekitarku yang menyambut bahagia persetujuan Edwin. Intan menjerit kegirangan dan sekelilingku semakin heboh. Pelan kugigit bibir bawahku, kesal. Valentine’s Day tahun ini resmi menjadi Valentine’s Day terburuk sepanjang hidupku, sekaligus déjà vu paling menyedihkan setelah aksi promposal Gavin untuk Cindy beberapa hari lalu.
Perasaanku makin tak keruan. Aku melangkah cepat menuju kantin tanpa memedulikan teman-temanku. Tak lama kurasakan Emil berjalan di sebelahku dan segera menggamit lenganku lagi. Dia mengatakan sesuatu padaku tapi tidak kuhiraukan. Telingaku terlalu pekak untuk bisa mendengar jelas ucapannya.
Seperti dugaanku, kantin ramai dan sesak. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Kakiku terlalu malas untuk bergerak lebih jauh dan mulutku terlalu lelah untuk melontarkan ide. Mungkin aku pun akan menyerahkan tugas pengundian kado Valentine’s Day pada Mia. Sebuah tugas yang dulu selalu menjadi hak prerogatifku.
Beberapa murid yang kulewati menoleh padaku sambil berbisik. Bahkan ada yang tertawa mengejek dengan kerasnya. Nyebelin! Aku ingin sekali menjerit, “Diam lo semua!” sambil mendelik marah pada mereka, tapi tidak kulakukan. Aku masih bisa menahan diri demi menjaga image-ku sebagai cewek populer dan nominasi prom queen yang ramah dan baik hati. Toh mereka tidak tahu tujuan Adam menemuiku.
“Kamu mau beli apa, Ly?” tanya Emil saat kutaruh shopping bag di sebuah meja kosong. “Biar aku sama NoNa aja yang pesanin.”
Nova dan Nava serentak manggut-manggut meyakinkan. Aku menangkap raut mencurigakan di wajah mereka.
“Apa aja,” jawabku santai seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. Aku tahu Emil dan NoNa cuma ingin membicarakan kedatangan Adam ke kelasku dengan leluasa. Bukankah misteri seorang Adam begitu menyita perhatian mereka belakangan ini? Ya, puas-puasin deh kalian berspekulasi dan berkonspirasi! Dasar para biang gosip, kalian bertiga!
“Aku beliin mie ayam sama teh botol, ya?” usul Emil, yang kusahut dengan anggukan malas. Masih berdiri, aku mulai memasukkan kado-kado temanku ke dalam shopping bag lain yang kubawa, sementara Emil sibuk menanyai pesanan teman yang lain. Kusuruh Mia membuka situs Random.org dari ponselnya untuk memasukkan nama kami, untuk kemudian diundi siapa yang bisa duluan memilih kado. Begitu Emil dan si kembar pergi, Ben ikut mengintip ponsel Mia dari sisi kanannya, sedangkan Hendrik kembali asyik dengan ponselnya, dan aku masih memasukkan kado ke dalam shopping bag dengan perasaan berat.
Dalam situasi seperti itu, aku seperti berada di sudut yang terpencil dan kesepian, tenggelam dalam kemurunganku. Aku lega Mia, Ben dan Hendrik tidak menanyaiku soal apa yang terjadi tadi dengan Adam karena itu hanya akan membuatku bertambah kesal dan cemas. Itu berarti mereka menghargai privasiku. Namun di sisi lain, aku merasa ditinggalkan sendirian menghadapi kegelisahanku. Seakan mereka tak peduli padaku sedikit pun.
Aku menyodorkan shopping bag berisi kado pada Mia. Dia menoleh sekilas padaku.
“Udah beres lagi? Aku masih masukin nama-nama kalian, nih.” Mia berkata dengan nada bersalah. Matanya tetap tertuju pada layar ponsel. “Sinyalnya lemot, euy. Bentar ya.”
“Ck, apa susahnya sih masukin kado? Nyantai aja lagi,” ucapku terdengar tajam, bahkan olehku sendiri. Padahal niatku bercanda. Sungguh. Kurasa nada ramahku sudah tenggelam hingga ke dasar perut.
Ben menatapku sambil tersenyum. Sorot matanya mengandung tanya. Dengan kaku aku membalas senyum Ben dan segera mengalihkan perhatian ke sekitar. Terserah deh Ben mau kira aku jutek atau apa. I don’t care. Tapi selama ini Ben selalu pengertian. Dia tidak pernah menghakimi sikap tak bersahabatku. Tidak secara langsung. Kuharap kali ini pun begitu.
Duh, mana sih Emil? Lama amat order makanannya? Aku mulai mengetuk-etukkan jemariku di meja dengan tak sabar.
Kepalaku bergerak mencari keberadaan Emil dan NoNa. Tak begitu jauh dari tempatku duduk, tiba-tiba mataku menangkap sosok Adam yang baru saja memasuki kantin. Dia berdiri di ambang pintu kantin. Kepalanya bergerak kikuk mencari-cari entah siapa. Aku langsung menundukkan kepala hingga meja bergoyang cukup keras. Hendrik dan Ben menoleh padaku berbarengan.
“Kunaon ari maneh? (Kamu tuh kenapa?)” tanya Hendrik, tertawa.
Otakku berputar cepat. “A-aduh! Kakiku digigit semut,” ucapku berbohong. Aku berlagak memeriksa betis kiriku. “Aku nggak pa-pa, kok. Serius.”