My (im)Perfect Prom Night

mollusskka
Chapter #19

Bab 19

Dika tidak ada di kelasnya. Teman sekelasnya yang kutanya pun tidak ada yang tahu dia ke mana. Sebel, deh! Kalau lagi darurat susah banget dicari. Giliran nggak diharapkan, dia seakan ada di mana-mana.

Aku baru akan meninggalkan kelas Dika ketika orang yang benar-benar tidak kuharapkan justru harus kutemui. Diapit dua teman ceweknya, Thalia a.k.a si norak Tarliah masuk ke kelas sambil masing-masing membawa sebungkus plastik berisi gorengan yang masih panas. Minyak dan uapnya tampak menempel di badan plastik. Ew! That’s so not cool.

Kejijikanku makin bertambah begitu melihat pin bros warna ungu pastel yang terpasang di atas saku seragam kedua temannya. Itu pin bros kampanye Thalia yang dulu juga pernah kudapatkan tapi sudah kubuang ke tempat sampah. Cuma orang yang sama noraknya dengan Thalia yang mau pakai pin bros jelek itu. Serius, aku tidak habis pikir kenapa dua cewek itu mau saja menjadikan Thalia panutan mereka. Apa hebatnya sih dia? She’s so fake, right?  

“Lily! OMG, ternyata lo di sini. Gue baru aja dari kelas lo. Tanya mereka.” Thalia mengedikkan kepala pada kedua temannya, yang langsung mengangguk mengiyakan. “Btw, Ana bilang si Adam minta lo jadi prom date-nya ya? Itu beneran?” Thalia tertawa nyaring, diikuti kedua temannya. “OMG, nyalinya gede juga tuh anak. Dia pikir dia siapa?” Thalia kembali tertawa hingga makin menonjolkan giginya yang agak tonggos. “Wait, wait. Apa justru karena dia merasa selevel dengan lo kali ya?”

Tanganku mengepal geram. “Itu nggak—”

“Kasih tahu dong siapa prom date lo,” sambar Thalia cepat. “Lo udah janji kan mau kasih tahu gue. Gue pengin tahu banget, nih.”

Aku mendengkus kesal. “Bukan urusan—”

“Gue tahu!” pekik Thalia, yang lagi-lagi memotong ucapanku dengan seenak jidat. “Mungkin karena lo belum punya prom date, kali, makanya Adam nekat ngajakin lo?”

“Itu nggak—”

 “Coba kalau lo udah punya prom date dan beritanya tersebar seperti halnya Cindy dan Gavin. Gue yakin banget Adam nggak akan kepikiran untuk minta lo jadi prom date dia. Benar kan, guys?” Thalia melirik kedua temannya, yang langsung manggut-manggut setuju.

“Itu bukan—”

“Tunggu!” Thalia tiba-tiba meletakkan satu telapak tangannya di depan wajahku. Aku yang terkejut dengan tindakannya itu, dengan bodohnya malah diam menuruti perintahnya.

“Berdasarkan apa yang terjadi belakangan ini, gue sih yakin lo emang belum punya prom date. Tapi entah karena malu atau apa, lo nggak mau kasih tahu gue sampai sekarang. Benar kan, Ly, dugaan gue?”

Thalia menyudahi kalimatnya dengan senyum menyeringai. Sorot matanya begitu puas. Kedua temannya cekikikan di sebelahnya, seolah sudah tugas mereka untuk melengkapi kalimat Thalia yang mencemooh. Amarahku makin mendidih namun berusaha kuredam.

“Terserah lo mau buat kesimpulan apa,” ucapku ketus, seraya bersedekap geram. “Itu hak lo. Satu hal yang gue sayangkan. Ternyata lo sama aja dengan orang lain yang percaya gitu aja sama omongan Ana. Dan lo tahu apa sebutan buat orang-orang macam kalian?” Aku maju selangkah mendekati Thalia dan menatapnya tajam. “Bego,” desisku.

Thalia mundur selangkah. Keningnya berkerut cemas. Aku terus menatapnya untuk beberapa saat, menikmati kemenangan kecilku. Postur tubuhku yang lebih tinggi dari Thalia membuatku semakin berada di awang-awang. Kemudian aku berjalan melewati Thalia dan kedua temannya dengan perasaan puas.

“Gue nggak bego, kok.” Thalia kembali bersuara di belakangku, yang otomatis membuatku berbalik kesal. “Ana bilang dia dengar jelas apa yang lo omongin dengan Adam. Bahkan dia sampai bersumpah demi Tuhan ke gue. Apa perlu gue panggil Ana dan nyuruh dia bersumpah juga di depan lo?”

Amarahku kembali tersulut dan nyaris melesat melewati ubun-ubun. Telapak tanganku mengepal erat. Tidak mungkin Ana mendengar jelas percakapanku dengan Adam. Tidak mungkin! Thalia pasti cuma mengada-ada untuk memancing amarahku. Tapi bagaimana kalau Thalia berkata jujur? Oh my God…

Senyum kecut Thalia merobek-robek harga diriku. Aku ingin sekali membalas ucapannya tapi aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Dengan amarah yang tertahan, aku berbalik pergi meninggalkan Thalia. Dan BRUKK! Tubuhku langsung menabrak sesuatu. Atau seseorang?

Mataku mengerjap karena terperanjat dan satu tanganku mendarat di dada orang yang kutabrak sementara kedua tangan orang yang kutabrak berada di kedua bahuku. Sepersekian detik aku berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Dan seketika itu juga mataku membelalak melihat Adam berada tepat di depanku. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku hingga aku bisa merasakan napasnya menyentuh hidungku. Matanya yang cekung melotot kaget dan mulutnya menganga lebar. Aku takkan pernah bangun dari rasa keterguncanganku seandainya aku tidak mendengar gemuruh tawa di sekitarku. Sontak aku mendorong tubuh Adam dengan kasar.

“Jalan lihat-lihat, kenapa sih?!” bentakku. “Lo tahu kan gue ada di sini sedari tadi?!”

“Ma-maaf,” ujar Adam seraya menggaruk bagian belakang kepalanya.

“Minggir lo!” jeritku jengkel. Namun Adam tidak bergeser dari hadapanku. Muka bodohnya malah menatapku sekilas lalu menunduk dan menatapku lagi. Bibirnya bergerak-gerak seperti hendak bicara. Aku tidak ingin mendengar dia mengucapkan lagi apa yang sudah dikatakannya tadi di depan kelasku. Tidak di hadapan Thalia. Tidak di hadapan siapa pun!

Dengan kasar aku menyikut Adam dan berjalan melewatinya. Suara tawa yang memekakkan mengiringi kepergianku. Aku ingin menjerit sekeras yang aku bisa tapi itu hanya bersarang di tenggorokanku. Namun aku pun berharap tadi bisa lebih mengendalikan diri dan tidak membentak-bentak Adam di hadapan banyak orang seperti orang kerasukan. Tapi mau bagaimana lagi? Adam benar-benar jenis cowok yang melihatnya saja bisa langsung membuatku naik darah.

Aku melanjutkan langkahku menuju ke perpustakaan untuk mencari Dika. Aku yakin dia ada di sana. Tekadku untuk meminta penjelasan darinya semakin kuat. Pokoknya dia harus bertanggung jawab!

“Lily!” Suara Ben memanggilku dari arah samping. Aku menoleh. Kulihat Ben berlari cepat menghampiriku di tengah lapangan basket.

Aku mendengkus. “Ngapain sih kamu cari aku?” gerutuku saat Ben tiba. Napasnya tersengal-sengal.

Ben tertawa kecil seraya mengatur napasnya. Dia lalu menyodorkan sebuah kado berbentuk persegi panjang padaku. “Ini kado buat kamu,” ujarnya lembut dan tulus hingga sanggup meluluhkan amarahku dalam hitungan detik. “Happy Valentine’s Day,” lanjutnya. “Kadomu yang lain dibawa sama Mia. Makananmu juga masih ada di meja. Kamu nggak akan makan?”

Aku tersenyum berat, merasa tidak enak sudah menumpahkan amarahku pada Ben.

Happy Valentine’s, too,” ucapku pelan. “Kadoku buat kamu juga masih ada di shopping bag. Lupa. Nanti, ya.”

Ben mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu ngapain cari aku?” tanyaku. Kali ini lebih lembut.

Ben menggaruk tengkuknya. “A-aku mau ngomong sama kamu. Soal yang kemarin itu.”

Aku mengembuskan napas. Benar. Aku baru ingat kalau aku masih berutang waktu pada Ben. Meski aku sangat ingin menemui Dika, kurasa Ben harus kuutamakan. Jarang-jarang dia meminta waktu untuk bicara empat mata denganku. Kulirik jam tanganku. Masih ada waktu lima belas menit sebelum istirahat pertama berakhir.

Aku tersenyum. “Oke. Mau bicara di mana?”

Ben memandang ke sekeliling dan menunjuk sebuah bangku taman tak jauh dari tempat kami berdiri. “Di sana?”

Aku sempat ragu namun akhirnya mengangguk setuju.

Bangku taman itu menghadap ke lapangan basket dan dilatarbelakangi beberapa pohon pucuk merah yang tinggi dan dipangkas rapi. Dulu ketika masih pacaran dengan Dika, aku sering duduk di bangku taman ini, menunggu Dika yang rapat di ruang OSIS, yang letaknya memang cukup berseberangan. Kadang aku menunggu sendirian sambil mengecek ponsel atau mendengarkan musik di iPod, atau berdua dengan Thalia sambil mengobrol tentang banyak hal. Detik berganti menit dan menit berganti jam, aku terus menunggu Dika hingga bosan. Lalu rasa bosanku berganti semringah ketika pintu OSIS akhirnya terbuka. Namun kesabaranku masih harus diuji karena seringnya Dika menjadi orang terakhir yang meninggalkan ruang OSIS. Kadang berdua dengan Mia. Untunglah Ben selalu keluar lebih dulu untuk menemuiku. Bersamanya, aku bersenda gurau dan menunggu Dika keluar.

Tapi itu dulu.

Waktu aku dan Dika belum putus.

Aku duduk dengan canggung di bangku taman, meletakkan kado dari Ben di pangkuanku, dan perlahan mengarahkan pandangan ke ruang OSIS. Saat itu pintu ruang OSIS dalam keadaan tertutup. Namun karena pintunya berbahan kaca yang tembus pandang, aku bisa melihat beberapa murid duduk berkumpul di dalam sana. Mungkin sedang rapat. Lalu pandanganku beralih pada tembok luar OSIS, tepat di sebelah pintu kaca. Di sana terpampang poster besar berisi kata-kata motivasi. Dulu aku ingat pernah membacanya: “Masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini.” Aku yakin itu masih poster yang sama jika dilihat dari gambarnya yang belum berubah.

Lihat selengkapnya