Ketukan di pintu kamar mengejutkanku. Aku segera menaruh kado Ben di meja belajar lalu membuka buku catatan dan buku paket. Dengan ekspresi wajah serius aku berlagak sibuk mengerjakan PR. Saat itu jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima sore.
“Masuk aja,” sahutku dengan suara agak serak.
Pintu terbuka dan Mama berdiri di ambang pintu seraya menatapku dengan cemas. Kemeja lengan panjang warna hitam dan celana pensil warna cokelat membalut tubuh langsingnya. Sapuan ringan makeup di wajahnya membuatku semakin tidak enak karena sudah membatalkan janji konsul dress yang dibuat Mama secara mendadak.
“Kamu kenapa nggak jadi konsul dress, sih?” tanya Mama sambil meletakkan tas bahu hitamnya di meja belajar. “Padahal Mama udah setengah jalan. Memangnya kamu sakit?”
Aku menggeleng cepat namun Mama tetap mengecek dahiku dengan telapak tangannya. “Agak hangat. Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Mama lagi. Kali ini kujawab dengan anggukan dan senyuman.
“Tante Sovie nggak marah, kan, Ma?” tanyaku cemas.
“Nggak. Tante Sovie cuma menyayangkan aja soalnya dia udah punya segudang ide buat dress kamu. Dia udah nggak sabar.” Mama menenangkanku. Kemudian perhatian Mama beralih pada bunga pemberian teman-teman yang kuletakkan di vas. “Wah, banyak banget bunganya. Lebih banyak dari tahun kemarin kayaknya?”
Aku mengangguk sambil mengerjakan PR di buku catatan. Aku ingin Mama segera pergi dan membiarkanku sendiri. Aku takut Mama akan menggali lebih dalam kenapa aku tiba-tiba membatalkan konsul dress dan bolos pendalaman materi di sekolah.
“Itu kado dari siapa?” tanya Mama mengejutkanku.
“Dari Ben sama acara tukar kado.”
“Dibuka dong yang dari acara tukar kado. Mama penasaran.” Sekarang Mama berdiri di belakangku dan mulai menyugar rambutku yang terurai dengan lembut. Anehnya itu membuatku semakin tidak nyaman. Serius, aku benar-benar merasa berada di sebuah setting film bertemakan thriller psikologis. “Tahun lalu kamu dapat wafer Tango sama Yupi rasa strawberry. Sekarang dapat apa ya kira-kira?” Mama tertawa kecil.
“Eng, nanti aja ya, Ma. Lily mau kerjain PR dulu,” jawabku halus.
“Bentar aja kan bukannya?”
“Ma, please…” rengekku.
Mama mendengkus. “Ya sudah. Kamu udah makan siang atau belum? Kebetulan Mama bawa—”
Ucapan Mama dihentikan oleh suara telepon rumah yang berbunyi nyaring dari lantai satu. Sesuatu yang sangat jarang terjadi sejak semua anggota rumah punya ponsel. Diam-diam aku mengembuskan napas lega.
“Tumben ada yang nelepon ke rumah. Mmm, Mama yakin kalau nggak dari bank, pasti dari asuransi,” komentar Mama. “Malas deh angkatnya. Biarin aja kali ya?”
“Ih, angkat dong, Ma. Siapa tahu darurat?”
“Benar juga, sih.” Mama menepuk lembut punggungku lalu mengambil tasnya dan bergegas turun ke bawah. “Oh iya,” Mama tiba-tiba berhenti lagi, “Titipanmu ada di bawah, tuh. Nanti kamu ambil, ya. Mama juga beli J.CO kalau kamu belum makan siang.”
“Udah makan siang, kok.” Aku berbohong.
“Oke kalo gitu.” Mama mengangguk dan kembali bergegas.
Tak lama ponselku ikut berdering. Dari nomor tak dikenal.
“Nomor siapa, sih?” tanyaku lalu mengeklik tombol jawab. Tapi sambungan langsung diputus begitu hendak kusapa. “Tahu banget ya momen pas buat ngisengin orang?” gerutuku sambil memelototi layar ponsel. “Bikin tambah bad mood aja.”
Beberapa detik kemudian nomor itu kembali menghubungiku. Tapi kali ini hanya aku pandangi tanpa berniat untuk mengangkatnya. Kalau penting sekali, pasti si penelepon akhirnya akan mengirim SMS. Aku pun kembali mengerjakan PR.
Aku melirik ponselku yang akhirnya berhenti berbunyi. Senyum kemenangan terlukis di wajahku. Tapi itu tidak lama. Lima detik kemudian ponselku kembali berbunyi dan masih dari nomor tak dikenal tadi. Aku mendengkus jengkel. Konsentrasiku mengerjakan PR pun mulai buyar. Gila! Si penelepon ternyata lebih kepala batu dari yang kuduga. Aku terpaksa mengangkatnya. Berbeda dengan sebelumnya yang langsung diputus, kali ini ada suara berupa desahan napas yang terdengar menggerisik. Dahiku berkerut marah.
“Ini siapa, sih?!” sungutku kesal. Lalu sambungan kembali diputus. “Hei, dasar bego! Pengecut lo! Ayo jawab gue kalau berani!” bentakku lalu melempar ponsel ke meja belajar. Lalu telepon itu berdering lagi. Aku sudah siap menolak panggilan tersebut dan memblokirnya ketika aku melihat nama Mia terpampang di layar. Gerak tanganku refleks terhenti. Ada rasa enggan untuk mengangkatnya. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun, terutama Mia dan Ben. Tapi kurasa itu hanya akan membuat Mia bertanya-tanya. Jadi aku memutuskan menerima panggilan itu.
“Hai, Mi,” sapaku, berusaha terdengar ceria meski itu sulit.
[Ly, makasih banyak ya kadonya! Aku suka banget!] Mia memekik senang. [Sekarang aku lagi nonton yang Grand Budapest. Sekali lagi makasih ya, Ly! Aku jadi minder nih mau kasih kado apa buat kamu.]