Senin, 11 Februari ‘19
Aku melangkah malas memasuki aula sekolah SMA Tiara Pertiwi bersama para murid kelas dua belas lainnya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 10:15. Aku baru saja menyelesaikan ujian praktek Bahasa Indonesia. Seharusnya hari ini aku bisa pulang cepat dan bersantai sejenak di rumah. Tapi karena sosialisasi kampus swasta, itu harus menunggu.
Di panggung sudah bersiap lima mahasiswa berjas kampus warna biru dongker: dua orang sibuk mempersiapkan proyektor; dua orang membaca dan membolak-balik kertas di tangan; dan satu orang menatap kami bergiliran sambil menyapa kami melalui mikrofon yang dipegangnya.
“Lily cepetan, ih! Entar nggak kebagian tempat.” Emil Chandra yang berjalan cukup jauh di depanku berteriak dengan suara tinggi melengkingnya. Tubuhnya yang tinggi besar jauh lebih mirip bodyguard daripada cuma murid SMA kelas akhir. Apalagi dengan kulitnya yang berwarna cokelat. Sayangnya badannya yang besar itu bukan berisi kumpulan otot, melainkan tumpukan lemak yang menahun. Meski posturnya mirip bodyguard, kepribadian Emil justru berbanding terbalik 180 derajat. Jiwa femininnya lebih mendominasi ketimbang jiwa maskulinnya. Dan dia nyaman dengan itu. Setidaknya itu yang kulihat.
Aku mengangguk menanggapi Emil tanpa mempercepat langkahku. Mia dan si kembar NoNa yang berjalan di sampingku bergegas menyusulnya. Aku malas buru-buru. Aku tahu mereka akan menyisakan satu kursi untukku.
Kelima mahasiswa tadi mulai bergiliran mempromosikan keistimewaan kampus mereka setelah kami semua duduk. Promosi itu diselingi beberapa tips melewati ujian nasional dan sejumlah lelucon yang terdengar garing. Tidak tahu dengan yang lain, tapi aku tidak benar-benar mendengarkan. Otak dan telingaku sudah menolak untuk menyerap penjelasan para mahasiswa itu semenjak mereka buka suara. Sambil mendengkus bosan, aku duduk bersedekap dan merenungi keterpurukanku. Belum lama aku tenggelam, Emil sudah menyikutku.
“Kenapa atuh kamu teh cemberut terus?” tanyanya. “Kalau ujian praktek mah lupain aja, Ly. Pasti dilulusin semua. Percaya, deh.”
“Bukan itu,” gerutuku berbisik.
“Terus?”
“Masa kamu lupa?” Aku merengut. “Kejadian tadi.”
“Oooh, kejadian tadi?” Emil terkikik pelan. “Kirain kamu udah lupa.”
Aku mendesah sambil menopang dagu pasrah. Satu konfeti warna biru jatuh dari rambutku yang digerai dan segera kutepis. Kejadian tadi tidak akan semudah itu hilang dari ingatanku. Tapi aku bisa mengerti kenapa Emil sampai terkikik begitu. Kejadiannya memang bikin malu setengah mati.
Jadi begini ceritanya:
Ujian praktek Bahasa Indonesia selesai pada pukul 09:30. Ini adalah hari terakhir dari serangkaian ujian praktek yang diadakan selama semingguan. Dengan perasaan lega aku keluar dari kelas bersama teman-teman yang lain. Sambil berjalan aku mengobrol dengan Nava. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Begitu menoleh aku dikejutkan sebuah ledakan konfeti tepat di depan mukaku dan seorang cowok yang berlutut di hadapanku. Kedua tangannya menyodorkan sebuket bunga mawar pink sementara bibirnya yang kering menyenandungkan kata-kata: “Lily cantik, jadi prom date aku, dong. Please…”
Mataku melotot dan mulutku menganga lebar. Aku kehilangan kata-kata saking kagetnya. Ngapain Irfan memintaku jadi prom datenya? Kenal juga enggak! Malah aku baru tahu namanya Irfan setelah membaca label namanya. Belum habis kagetku, Irfan tiba-tiba meraih jemariku sambil mengajukkan lagi pertanyaan tadi. Tubuhku terasa panas dingin menanggung malu. Di depan banyak orang, aku bingung harus bagaimana. Aku merasa terjebak.
Lampu blitz kamera menyala diikuti suara klik beberapa kali. Tepukan tangan dan sorakan menggema di sekitarku, memintaku menerima ajakan Irfan. Bahkan ada yang mendorong-dorong punggungku mendekati Irfan yang masih berlutut sambil memegang jemariku. Aku mulai kesal. Aku tidak peduli lagi mereka mau bilang apa.
Dengan kasar kutarik tanganku dan pergi meninggalkan kerumunan. Aku tidak habis pikir kenapa mereka malah menyuruhku menerima promposal Irfan? Apa mereka lupa? Aku, Lily Odyessa, adalah salah satu cewek terpopuler di SMA Tiara Pertiwi ini. Aku juga menjadi salah satu nominasi prom queen di acara prom night nanti. Terus mereka mau aku menerima promposal Irfan yang culun dan nggak jelas itu? Gila! Irfan itu bukan cowok ganteng dan populer sama sekali. Orangnya kucel kayak nggak pernah mandi. Jerawatan gede-gede, rambut kayak batok kelapa, pakai kacamata tebal pula. Di belahan bumi mana cowok seperti itu masuk kategori ganteng? Yang jelas bukan di kamusku. Ih, amit-amit!
Jadi begitu ceritanya.
Sampai sekarang aku masih terus kepikiran. Bukan soal malunya saja, tapi juga pendapat orang lain tentang sikapku yang menolak kasar promposal Irfan. Memang tadi aku masa bodoh, tapi kini itu cukup menyita pikiranku. Kenapa aku tidak menolaknya baik-baik dan bilang kalau aku sudah punya prom date meski itu bohong? Itu pasti akan jauh lebih elegan ketimbang kabur. Andai aku bisa lebih menahan diri. Aku tidak mau Irfan dan yang lainnya melabeliku sebagai cewek populer yang sombong seperti Cindy. Bagaimana pun, aku harus menjaga citraku. Apalagi sekarang aku menjadi salah satu nominasi prom queen. Kalau aku sombong, siapa yang akan memilihku nanti? Setiap suara sangat berarti, kan?
Di sebelahku Emil masih cekikikan menertawakanku. Akhirnya kusikut dia sambil melotot galak.
“Sori, sori.” Emil berusaha mengatupkan bibirnya yang berlipbalm. “Habis keinget terus muka polosnya si Irfan. Harusnya kamu juga ketawain aja daripada ngebatin. Entar keriputan mukanya."