My (im)Perfect Prom Night

mollusskka
Chapter #2

Bab 2

“Baiklah, adik-adik sekalian. Demikian sosialisasi kampus dari kami,” ujar kakak mahasiswa dengan suara lantang. “Semoga sukses ujian sekolah dan nasionalnya. Kalian pasti bisa! Dan sampai jumpa di kampus kami!”

Serentak kami semua berdiri. Aku dan Emil yang sedari tadi duduk mematung akhirnya bisa bergerak leluasa dan mengembuskan napas lega.

“Ya ampun, akhirnya. Udah panas banget pantat aku, ih,” seru Emil senang. Sambil berjalan agak berdesakan di sebelahku, jemarinya sibuk merapikan poni lurus panjang dan tebalnya, yang bermula dari bagian puncak kepala hingga di atas alis tebalnya. Poni kesayangannya itu membuat wajahnya yang bundar terlihat semakin penuh.

“Sama,” sahutku lesu.

“Eh, kalian pada tertarik nggak sama kampusnya? Kalo aku lumayan tertarik sama jurusan teknologi informasinya. Katanya itu jurusan yang banyak dicari di zaman digital ini.” Nava Alinda berucap dengan cempreng. Dia berjalan di belakangku bersama Nova Elinda. Mereka berdua adalah kembar identik. Tubuh mereka sama-sama gemuk, cukup tinggi, berkulit gelap, dan pipinya setembam bakpau. Rambut mereka pun sama-sama sepinggang. Bedanya Nava memilih berponi tebal mirip Lisa Blackpink idolanya, sementara Nova tidak berponi seperti Tzuyu Twice idolanya.

Seharusnya aku tidak bilang ini. Tapi serius, obsesi mereka pada kedua idolanya itu, dan para K-pop idol lainnya, sudah kelewatan sampai mereka merasa dirinya secantik dan se-cute Lisa dan Tzuyu. Dengan bentuk hidung aneh mirip hidung Leonard Mudbeard di film Angry Bird, seseorang harus mengingatkan mereka. Aku dengan senang hati akan melakukannya kalau tidak ingat citraku. Oh ya, Nava satu kelas denganku sedangkan Nova tidak. Tapi dia lebih sering bergabung dengan kami ketimbang teman sekelasnya. Entah karena tidak bisa lama-lama berpisah dari Nava atau bosan bila tidak beradu mulut dengannya.

 “Kalo aku pengin masuk jurusan psikologi biar bisa jadi psikiater.” Nova menyahut dengan suara yang sama cemprengnya. “Akhir-akhir ini kan banyak fenomena gangguan kejiwaan. Pasti tempat praktek aku bakalan penuh kayak antrian bubble tea.”

Emil dan yang lainnya tertawa mendengar ucapan Nova. Aku cuma bisa menarik malas bibirku sekadar untuk sopan santun. Bad mood-ku masih belum pergi.  

“Bentar. Kayaknya sebelum pilih jurusan mendingan kamu pahami dulu deh perbedaan psikolog dan psikiater, Nov. Jurusannya kan beda.” Mia berkata di sebelahku sambil menoleh ke belakang. Seperti biasa, mulutnya bergerak-gerak karena mengunyah permen karet.

“Masa, sih, Mi?” Nova mengerutkan dahinya.

“Iya.” Mia menekankan. “Kalau mau jadi psikiater itu ambilnya jurusan kedokteran, bukan ambil psikologi terus bisa jadi psikiater. Googling aja untuk lebih jelasnya.”

“Hah?! Kedokteran?!” Nova melotot kaget. “Serius?!”

Mia mengangguk santai sambil meletupkan permen karetnya. “Makanya nanti kamu harus browsing dulu sebelum pilih jurusan. Biar kamu nggak nyesel pas ngejalaninnya.”

“Jadi kedokteran, ya?” Nova meringis, masih tidak percaya. “Padahal aku pengen banget jadi psikiater. Duh, belum apa-apa aku udah merinding duluan. Lihat, deh.” Nova menunjukkan kedua tangannya yang memunculkan bulat-bulat kecil.

“Nova, Nova. Gimana mau ngobatin pasien? Kamu sendiri masih punya gangguan kecemasan. Dasar bego!” Nava mendorong pelipis Nova dengan telunjuknya. Teman-temanku kembali tertawa sementara aku mendengkus jengkel sendirian. Dengan kesal aku mengempaskan ujung tali backpack yang sedari tadi kutarik-tarik.

Guys, please deh! Bisa nggak sehari ini aja kita nggak ngomongin masa depan pendidikan kita? Mumet, tahu!sungutku, berbalik menatap Nava dan yang lainnya. “Semingguan kemarin sampai hari Senin ini kita sibuk sama ujian praktek. Belum lagi pendalaman materi dan try out yang tiap minggu pasti ada. Itu capek banget, kan? Jadi please stop ngomongin rencana masa depan kalian.”

Seperti orang kerasukan aku lantas merampas brosur kampus dari tangan si kembar, meremasnya lalu membuangnya ke tempat sampah di sebelah pintu keluar aula yang lain. Sumpah, aku tidak tahu kalau ternyata ada seorang mahasiswi yang berdiri di sana dan melihat dengan jelas apa yang baru saja kulakukan. Senyum di bibirnya berubah drastis menjadi kerutan marah di antara kedua alisnya. Aku buru-buru menghindari tatapannya dan menjauh. Nova yang menyikutku pun tak kuhiraukan.

“Yang kita butuhkan sekarang adalah refreshing,” lanjutku berubah ceria. “Mumpung hari ini kita bisa pulang cepat, kita wajib, wajib, wajib banget ngemal buat mendinginkan otak kita. Anggap aja ini pesta terakhir sebelum memasuki medan perang. Gimana? Setuju, kan?”

“Aku setuju! Kita ke PVJ, kuy. Main ice-skating!” Emil berseru penuh semangat.

“Ide bagus!” sahutku senang. “Yang lain gimana? Ada ide?”

Aku menatap Mia, Nava, Nova dan Hendrik secara bergiliran, menantikan seruan penuh semangat seperti yang baru saja ditunjukkan Emil. Di luar dugaanku, mereka malah saling pandang mencari jawaban, dan pusat pencarian mereka berakhir di Mia. Dengan cueknya Mia malah meletupkan permen karetnya sambil bersedekap dan menimbang-nimbang.

“Aku sih mau pulang aja,” ujar Mia. “Mau nonton DVD terus belajar buat try out hari Rabu nanti. Kalian ngemal aja tanpa aku. Nggak pa-pa, kok.”

Hendrik Ardiansyah tiba-tiba menguap di sebelah Nova. Rambut keritingnya tampak lebih acak-acakan dari biasanya. “Aing oge. Capek. Mo tidur,” katanya dengan nada malas.

Jujur, Hendrik adalah tipe cowok yang selalu membuatku kesal setiap kali melihatnya. Sayangnya dia teman sebangku Emil, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi Hendrik, ponsel dan Persib adalah teman sejatinya sementara kami sekadar pengisi kekosongan. Dia juga hampir tidak pernah tertarik untuk hang out bareng kami. Jadi aku tidak begitu kaget dan peduli waktu dia bilang begitu. 

“Kalian gimana?” Aku menatap si kembar penuh harap.

Nava dan Nova saling bertatapan sejenak lalu berbarengan menatap Mia, yang mulutnya tak berhenti bergerak mengunyah permen karet. Lama-lama aku bisa gila karena kebiasan Mia makan permen karet dan meletupkannya keras-keras.

“Eng, kita juga sebenarnya mau latihan dance, Ly,” jawab Nova hati-hati. “Kamu tahu kan kita mau perform dance cover BTS di acara prom night nanti?”

Nava mengangguk cepat. “Thalia pengen semua anggota bisa latihan bareng hari ini. Beberapa hari belakangan anggotanya selalu nggak lengkap karena kesibukan masing-masing.”

Bahuku merunduk lesu tak habis pikir. “Guys, really?! Apa sih yang nggak bisa kita lakuin di mal? Kita bisa nonton enak di bioskop dengan layar supergede. Mau tidur sampe film habis juga nggak ada yang ngelarang. Bahkan kita bisa belajar bareng di kafe. Itu jauh lebih seru ketimbang belajar sendirian di kamar, kan?” Lalu aku khusus menatap si kembar. “Dan kalian berdua bisa latihan ngedance di mal kalau mau. Aku rela deh videoin aksi kalian buat di-upload di Instagram atau apalah itu. Dibilang norak, norak, deh.”

Lihat selengkapnya