Udara dingin menerpa wajahku begitu melewati pintu utama rumah Ben. Rumah yang terletak di Setiabudi Regency itu bergaya Mediterania Spanyol. Lantai kayunya cokelat dan di beberapa tempat dilapisi karpet merah bermotif. Jendela-jendela besar melengkung indah di kedua sisi dinding berwarna krem. Ruang keluarganya bahkan memiliki perapian dan beraroma khas mirip vanilla. Dari ruang itu juga, aku bisa melihat keluar menuju taman, di mana birunya air kolam renang tampak mencolok sekalipun langit mendung. Warnanya begitu kontras dengan bunga bougenville merah yang tumbuh lebat dan merambat di dinding pinggir kolam. Tanpa menunggu lama, Nava segera berlari menuju kolam renang dan duduk di tepiannya seraya mencelupkan kedua kakinya ke dalam kolam.
“Nava, malu-maluin aja kamu, ih!” pekik Emil, yang lantas berlari menyusul Nava.
Nova mengacungkan dua jarinya. “Aku nggak kenal dia, Ben. Sumpah.”
“Nggak pa-pa.” Ben menenangkan dengan suara lembutnya. “Kalian mau minum apa?”
“Emang ada apa aja?” Nova bertanya balik.
“Kamu sama aja noraknya,” gerutuku. “Apa aja, Ben. Yang penting enak.”
“Oke.” Ben mengangguk.
“Aku boleh mampir ke ruang DVD sekarang, nggak?” Mia nyengir lebar, memperlihatkan kedua lesung pipitnya yang dalam. Ben pun menjawab dengan anggukan kepala disertai senyum manis.
“Makasih, Ben!” Mia langsung meluncur ke sebuah kamar di ujung ruang keluarga. Itu adalah tempat favorit Mia setiap kali main ke rumah Ben. Selalu saja ada beberapa keping DVD yang dipinjamnya untuk ditonton di rumah.
Aku dan Nova bergabung dengan Nava dan Emil di tepi kolam sementara Ben berjalan menuju dapur. Nava masih asyik menggerak-gerakkan kakinya bak putri duyung sambil menyenandungkan sebuah lagu, yang dari iramanya seperti lagu K-pop, membuat Nova ikut bernyanyi di sebelahnya. Kedua kakinya ikut dicelupkan ke dalam kolam. Di atas sunbed yang dinaungi payung taman besar, Emil duduk sambil membalurkan sunscreen ke lengan dan wajahnya. Sebuah bando menahan poni rambutnya. Lucunya, penggunaan sunscreen yang kurang merata malah membuat perbedaan warna kulit wajah dan lehernya semakin jelas.
“Apa sih yang nggak ada di kantong ajaib kamu, Mil?” ujarku, setengah tertawa, lalu duduk di sebelahnya. “Mendung gini ngapain pake sunscreen segala, sih?”
“Ya ampun! Masa Lily Odyessa yang cantik and fashionable and gaul nggak tahu? UVA kan tetap ada meski mendung kayak gini. Emang kamu mau kulitnya belang siga (kayak) zebra?”
“Sok tahu!” cibirku seraya merapikan rambut lurus hitam sebelikatku. Pandanganku tertuju pada si kembar yang duduk di pinggiran kolam di hadapanku. Mereka menggoyangkan tubuh ke kiri dan ke kanan sambil bernyanyi. Tanpa kuduga, Emil mencolek pipiku dengan ujung telunjuknya. Sontak aku menyentuh pipiku dan seketika kurasakan sesuatu yang basah dan lengket di ujung jemariku. “Emiiiil! Apaan, sih?!”
Emil tertawa terbahak. “Kalobaan (kebanyakan) ngambil sunscreen,” katanya. “Buat kamu.”
“Apaan, sih? Nggak mau!” Aku berusaha mengusapkan sunscreen di jemariku ke pipi Emil, tapi Emil menolak. Sambil tertawa, dia menahan seranganku dengan kedua tangannya.