Emil dan yang lainnya berjalan kembali menuju area sunbed. Wajah Ben kelihatan lelah dan tersiksa setelah sesi foto tadi. Sedikit banyak keluguannya membuatku tersenyum geli dan itu mampu menghapus kuasa Cindy atas pikiran dan emosiku.
“Ben, kamu tuh kalau nggak nyaman bilang. Jangan diikutin terus maunya mereka. Bisa habislah kamu dikerjain,” ujarku seraya menggelengkan kepala.
“Eh, kita kan fans yang baik hati,” cibir Nava, membela diri.
“Iya. Paling aku cuma cubitin pipinya pelan.” Nova lalu mencubit pipi Ben yang berdiri di sebelahnya dengan gemas. Aku berjengit, sebal melihat tingkah Nova. Ben sendiri cuma tersenyum getir sambil duduk di sunbed di hadapanku. Si kembar kembali mencelupkan kaki ke dalam kolam. Tak lama tangan mereka bergerak-gerak menirukan apa yang mereka lihat melalui ponsel. Mungkin itu gerakan cover dance mereka.
Emil duduk di sebelahku lagi dan tiba-tiba saja dia mendorong bahuku lumayan keras. "Tadi di soskam kita ngomongin Ben. Sekarang udah ketemu kenapa cicing wae (diam aja)?"
"Apa sih Emil?" Aku mengelus bahuku sambil meringis.
"Ya ampun, prom date, Ly. Masa lupa? Kalian kan beda kelas. Bisa dong jadi prom date masing-masing? Cindy bilang peraturannya harus beda kelas. Bener, kan?"
Wajahku memanas begitu Emil melontarkan omongan itu. What the hell, Emil?!
Aku menatap Ben yang duduk di sunbed di depanku. Pipinya merona dan kedua matanya tampak melotot sebentar, seolah dia sama terkejutnya denganku. Bibir Ben bergerak seperti akan bicara. Tanpa menunggu lagi, aku tertawa gelak demi mencegah Ben bersuara. Aku tidak siap mendengar jawabannya. Bagaimana kalau Ben bilang dia sudah punya prom date? Parahnya lagi, bagaimana kalau dia tidak mau jadi prom date-ku?
“Duh, Emil! Aku sama Ben nggak mungkinlah jadi prom date. Ada-ada aja,” ujarku, tertawa kaku.
“Ih, kenapa? Kalian kan udah lama kenal.”
“Justru itu. Rasanya aneh kalo kita jadi prom date. Iya kan, Ben?”
“I-iya, aneh.” Ben tersenyum kaku, lalu membetulkan letak bingkai kacamata Oakley-nya yang berwarna hitam.
“NoNa!” Aku berteriak memanggil Nova dan Nava, demi menghindari usulan Emil yang membuat jantung dag-dig-dug. “Gimana prom date kalian? Tiga bulan lagi, lho.”
Nava memasukkan ponsel ke dalam saku roknya. “Aku udah putusin untuk tetap pergi sama Andi. Bodo amat, deh.”
“Serius, Nav?” Mataku membelalak.
“Ya habis gimana? Dia nggak mau balikin duit aku. Katanya itu bayaran malu karena gara-gara aku nyogok dia, dia jadi dapat titel cowok bayaran. Aku juga nggak mau rugilah! Udah mah dapat titel cewek desperate, nggak dapat prom date, rugi duit. Mending mana?”
Nova terkikik di sebelah Nava. “Itulah karma bagi orang curang. Untung aku nggak se-desperate kamu buat cari prom date. Aku sih santai…”
Nava mendorong pelipis Nova dengan geram. “Ini juga kan gara-gara kamu nantangin dulu-duluan dapat prom date.”
“Ih, kebiasaan deh nyalahin orang!” Nova balas mendorong pelipis Nava.
“Lho, bukan nggak mungkin kamu juga berbuat hal yang sama, kan?”
“Enak aja! Buktinya sampai sekarang aku belum punya prom date.”
“Dan kamu bangga?”
“Bukan itu maksud aku!”
Di tengah perang saudara itu, Mia muncul dari dalam rumah. Dia berjalan menuju meja dan mengambil cokelat panasnya tanpa marsmellow. Sekilas dia menatap kami dan tersenyum simpul sebelum bersiap kembali masuk ke dalam rumah. Dia seolah datang dari planet lain yang tidak peduli dengan apa pun yang terjadi di Bumi.
“Kamu tuh ke sini mau hang out atau apa sih, Mi?” hardikku, yang langsung membuat langkah Mia terhenti. “Ngobrol bareng kek sama kita-kita.”