Mama sedang menyiram sekumpulan bunga mawar kesayangannya di teras depan ketika aku sampai di rumah. Beliau adalah seorang ibu rumah tangga istimewa yang sangat berdedikasi dengan pilihannya menjadi ibu rumah tangga. Totalitasnya membuatku ingin menjadi ibu rumah tangga juga saat dewasa nanti. Tapi, sebelum aku sampai di keputusan itu, ada yang jauh lebih penting dan harus segera diputuskan hari ini: Ben atau Dika yang harus kukirimi surat promposal duluan.
“Hello, my favorite mom. I miss you so much,” sapaku seraya memeluk dan mengecup pipi kanan Mama. Rambut lurus sebahunya setengah basah dan wangi bunga.
Mama balas mengecup pipi kiriku. “I miss you more,” ucapnya lembut. “Gimana ujiannya? Lancar?”
“Lancar. Bahasa Indonesia mah kecil,” jawabku, membuat Mama tersenyum. “Tumben Mama udah mandi. Biasanya siram tanaman dulu baru mandi.”
“Hmm, kamu sendiri tumben baru datang. Katanya hari ini mau pulang cepat?”
“Main ke rumah Ben, Ma. Refreshing bentar.”
Aku mengempaskan tas dan tubuhku ke kursi kayu panjang yang menghadap langsung ke pekarangan. Di meja kopi di hadapanku ada secangkir teh yang asapnya masih mengepul dan sebuah novel berjudul Sebabnya Rafiah Tersesat. Omong-omong, itu buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolah atas permintaan Mama. Katanya Mama sedang ingin membaca buku-buku angkatan Balai Pustaka. Sebelumnya Mama asyik membaca beberapa novel karya Agatha Christie. Sayang aku tidak begitu suka baca. Pasti kami bisa jauh lebih kompak lagi kalau punya hobi yang sama.
Sambil memeluk bantal kursi yang empuk, aku menikmati pemandangan tanaman mahakarya Mama dan Papa. Beraneka warna bunga mawar dan berbagai tanaman lainnya tumbuh subur berkat perawatan telaten Mama. Sementara Papa membantu Mama membuatkan rak susun untuk menaruh pot-pot berisi tanaman hias seperti suplir dan bunga lili perdamaian/peace lily favoritku. Papa juga yang memasangkan sejumlah pot berisi tanaman sirih gading di dinding dan pinggiran atap teras. Banyaknya tanaman membuat teras rumahku mirip pasar tanaman. Tapi aku selalu suka berada di sini, kecuali ketika beberapa nyamuk mulai ikut bergabung.
Mama meletakkan teko penyiram di lantai lalu duduk di sebelahku dan menyilangkan kakinya dengan anggun. Dia mengambil tehnya dan menawarkannya padaku, yang kubalas dengan gelengan. Dengan pelan Mama menyeruput tehnya.
“Ben gimana kabarnya? Udah lama dia nggak main ke sini.”
“Baik, kok,” jawabku. “Dia cuma lagi banyak les aja.”
“Kecuali hari ini?” tanya Mama dengan nada menggoda.
“Ih, Mama apaan, sih? Lily dan Ben kan cuma teman. Lily juga nggak main ke sana sendirian, kok.”
“Lho, emang Mama bilang apa?” goda Mama lagi. “Mama kan tahu persis kamu masih belum bisa move on dari Dika.” Mataku melotot marah menatap Mama, tapi Mama tidak menghiraukan. “Hmm, Mama jadi kangen dia,” lanjutnya santai. “Kangen ngobrolin soal buku.”
“Mama sok tahu banget, deh! Emang Mama pernah lihat Lily bengong-bengong nggak jelas gitu kayak orang gila? Atau nangis-nangis bawang sambil pelukin foto Dika? Nggak, kan?”
Mama tertawa kecil “Chill out, dear…” katanya. “Mama cuma kangen godain kamu. Habis akhir-akhir ini Mama lihat kamu kayak stressed out gitu. Sekolahnya tambah capek, ya?’
Aku mengembuskan napas kesal. “Itu dan prom night. Mama percaya nggak sih kalau sampai sekarang Lily belum punya prom date? Mia aja udah diminta jadi prom date sama dua cowok. Masa Lily belum? Padahal prom night tinggal tiga bulan lagi. Gimana kalau Lily nggak juga dapat prom date?”
Lagi-lagi Mama malah tertawa, “Memangnya kalau nggak bawa prom date lantas kamu nggak dibolehin ikut prom night, gitu?”
Aku mendengus. “Bukan itu, Ma. It’s all about pride. Apalagi Lily jadi nominasi prom queen. Masa nggak punya prom date, sih?”
“Hmm…” Mama mengetuk-ngetuk pipinya seolah sedang berpikir keras.
Tiba-tiba terdengar suara deru motor dari luar pagar diikuti suara dua orang lelaki yang bertukar cakap. Itu suara adikku, Kevin Olivier, yang sedang berbicara dengan driver Gojek. Rupanya dia juga baru pulang sekolah. Tapi aku yakin dia habis kelayapan dulu dengan pacarnya, Tara Dewi Azkia, yang biasa dipanggil Dewi.
Kevin membuka pintu pagar sambil bersiul bahagia. Dahinya sedikit berkeringat ketika dia membuka helm Spider-Man hitamnya. Rambutnya yang biasa ditata spiky jadi tak setinggi biasanya karena berat helm full face itu. Hari itu lagi-lagi Kevin mengenakan jaket denim mirip Dilan. Padahal dulu dia suka sekali memakai jaket Spider-Man kesayangannya. Seandainya diizinkan punya motor, Kevin pasti akan memilih Kawasaki W 175 sebagai pilihannya.
Kevin menyapa Mama dengan ceria seperti yang tadi kulakukan. Tapi untukku, dia menarik sejumput rambut panjangku dengan keras sebagai sapaan sore itu. Aku lantas membalasnya dengan sebuah pukulan keras di lengan. Semenjak duduk di kelas X, lalu punya cewek, dan tiga belas senti lebih tinggi dariku, dia tak pernah merasa segan untuk “menyiksa” dan melawanku. Namun Kevin akan bersikap superlembut dan supersopan padaku kalau ceweknya main ke rumah. Makanya aku tidak suka dengan ceweknya itu.
“Udah berapa hari jaket lo nggak dicuci? Bau banget!” Dengan hidung berjengit aku menciumi telapak tanganku yang tadi kupakai untuk memukulnya.
“Enak aja. Kemarin baru gue cuci,” balasnya. Mama langsung berdeham keras. Matanya melirik tajam pada Kevin. “Maksud gue, Mama yang cuci,” ralat Kevin. Mama pun kembali menyeruput tehnya dengan gaya yang sangat anggun. “Gue couple-an sama Dewi yang pake jaket Milea.” Kevin menambahkan.
“Nggak nanya, tuh,” sungutku sambil bersedekap. “Lagian norak juga pake baju samaan macam gitu. So childish, ew!”