My (im)Perfect Prom Night

mollusskka
Chapter #7

Bab 7

Selepas makan malam, aku langsung menuju kamarku di lantai dua dan mengunci pintu. Aku tidak ingin diganggu siapa pun. Ini saatnya menjalankan misi rahasiaku. 

Aku mengetuk-ngetukkan ujung pulpen ke pipi sementara shuffle-an lagu-lagu The Chainsmokers mengalun melalui iPod. Pikiranku menimbang-nimbang di antara dua nama, Ben atau Dika? Hingga dua lagu berakhir, keputusanku belum juga final. Sambil menopang dagu, aku memandangi pulpen biru yang kupegang. Mungkin aku harus menggantinya. Pulpen ungu berglitter lebih cocok untuk kertas warna pink pastel. 

Aku membuka laci meja belajar. Ketika mencari-cari kotak pulpen, ujung jemariku menyentuh sesuatu di sudut laci. Sesuatu yang terasa agak kasar. Aku lantas meraihnya. Ternyata sebuah gelang. Seketika senyumku mengembang. 

Gelang itu adalah pemberian Mahardika Riyadi alias Dika untuk hadiah ulang tahunku yang ke lima belas, hampir tiga tahun yang lalu. Sebuah gelang tali paracord warna cokelat tanah yang bersimpul anyam. Di kedua ujungnya menggantung sebuah manik bulat kecil warna silver. Di bagian tengahnya juga dihiasi tiga manik-manik: dua warna silver dan satu warna pink. Manik pink yang berada di tengah itu dihiasi butiran berlian imitasi yang kemilaunya kini sudah redup. Dika tahu aku suka warna pink. Dika juga yang membuat anyaman gelang itu, termasuk memilih jenis maniknya. Dia membuatnya di tengah waktu luang saat menjaga toko keperluan jahit milik orangtuanya.  

Aku memasukkan gelang itu ke pergelangan tangan kiriku. Gelang itu pernah berada di sana tujuh belas bulan lamanya. Sensasi hangat terasa saat gelang itu menyentuh kulit tanganku lagi. Seperti rasa berbunga-bunga yang selalu muncul setiap aku memandangi gelang itu dulu.

Wajah Dika muncul di benakku. Dika adalah sosok yang selalu bisa meluluhkan amarahku. Tapi Dika tidak bisa mengubah tekadku untuk mengakhiri hubungan kami. Tidak tanggung-tanggung. Aku memutuskannya tepat di hari ulang tahunnya.  

Aku dan Dika putus karena masalah waktu. Jabatannya sebagai ketua OSIS dan paskibra membuatku lelah. Aku bosan menemuinya di ruang OSIS atau lapangan paskibra terus-menerus. Harus menyesuaikan segalanya dengan jadwal Dika yang padat. Bahkan kami sering batal nge-date gara-gara Dika diminta menjaga toko orangtuanya di akhir pekan. Atau Dika mengambil kerja sampingan di usaha katering saudaranya demi uang tambahan yang jumlahnya tidak seberapa. Aku sudah mencoba bertahan, tapi aku tidak sanggup lagi. 

Aku dan Dika mulai kenal sejak MPLS dan kami satu tim. Sebagai ketua, Dika sangat supel dan berwibawa. Dia selalu siap membantu kapan saja, termasuk membantuku melaporkan tanda peserta MPLS-ku yang hilang pada kakak pendamping gugus. Dari sanalah kami mulai dekat. Meski MPLS berakhir dan kami berbeda kelas, kami masih saling menelepon atau ketemuan langsung. Kami resmi berpacaran dua minggu setelah hari pertama sekolah. Hari Selasa tanggal sembilan Agustus, hampir tiga tahun yang lalu.

Aku dan Dika memang sudah putus. Tapi kami masih saling bertegur sapa kalau bertemu. Sesekali kami mengobrol meski canggung. Dan keteduhan itu masih kurasakan. Senyum hangat dan sorot matanya yang dalam belum hilang. Kadang aku berharap kami belum putus. Aku juga bertanya-tanya apa Dika berharap sama. Namun Dika tidak pernah mengungkit apa pun soal hubungan kami. Jadi aku pun diam. 

Aku tidak tahu apa Dika sudah punya prom date atau dia justru masa bodoh seperti Mia. Semenjak kami putus, aku belum pernah melihat Dika dekat dengan seorang cewek. Kecuali gosip soal Cindy yang berusaha mendekatinya. Postingan di media sosial pun tidak ada. Well, Dika memang tidak aktif di medsos jadi itu bukan patokan. Selama pacaran denganku pun dia tidak pernah posting kedekatan kami di medsos. Ah, tapi aku yakin Dika belum bisa melupakan aku. Sorot matanya mengatakan itu. 

Aku mengembuskan napas pelan. Ini seperti membuka guci pandora. Mengirim surat promposal pada Dika akan mengungkap rahasia yang selama ini menghantuiku. Aku mungkin akan menyesalinya. Tapi tidak ada ruginya aku melakukannya. Ini pun lebih baik daripada terus penasaran. Lagi pula ini kan cuma permintaan prom date. Jadi apa salahnya? 

Aku memandang gelang yang kupakai sekali lagi. Keputusanku sudah bulat. Dika akan menjadi orang pertama yang menerima surat promposalku. Kalau dia menolak, Ben akan menjadi pilihan keduaku. Kalau Ben juga menolak, aku akan mencari cowok lain untuk dikirimi surat promposal. Sekali lagi, aku tidak bisa cuma diam dan menunggu bola datang. Aku sendiri yang harus menjemput bola itu. 

Aku mengambil kotak pulpen dan memilih pulpen ungu berglitter, lalu mulai merangkai kata, yang ternyata bukan pekerjaan mudah. Bahkan lebih sulit dari menulis puisi. Aku butuh beberapa kali uji coba sebelum menemukan kata-kata yang tepat. 

Lihat selengkapnya